Wanita Hebat dari Enrekang, Namanya Sulfianingsih (Bagian-1)Bagi siapa pun.
Apalagi bagi perempuan.
Tapi Sulfianingsih tidak pernah menjadikan itu alasan.
Ia mengangkat karung.
Ia membagikan makanan.
Ia membantu evakuasi.
Ia mendengar cerita duka.
Dan yang paling sulit: ia tetap tinggal, ketika sebagian orang memilih pulang.
Ada pandangan lama di masyarakat kita.
Bahwa medan bencana adalah urusan laki-laki. Bahwa kerja fisik, risiko, dan bahaya lebih cocok untuk mereka yang bertubuh besar dan bersuara keras.
Sulfianingsih mematahkan itu—tanpa debat.
Ia tidak berpidato soal kesetaraan. Ia melakukannya.
Dengan sepatu lapangan.
Dengan pakaian seadanya.
Dengan stamina yang kadang dipaksa melampaui batas.
Saya membayangkan berapa kali ia pulang dengan tubuh lelah, tapi kepala masih penuh wajah-wajah korban yang belum tertolong.
Penghargaan biasanya datang lebih cepat kepada mereka yang pandai bicara.
Tidak kepada mereka yang pandai bekerja.
Sulfianingsih menunggu lama.
Sampai akhirnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memilihnya sebagai satu dari 25 perempuan inspiratif. Dari seluruh Sulsel.
Bukan karena ia paling sering tampil.
Tapi karena ia paling sering hadir.
Gubernur Sulsel menyampaikan apresiasi. Wakil Gubernur bicara soal program. Kepala daerah hadir lengkap.
Namun bagi saya, inti acara itu bukan pidato.
Intinya ada pada seorang perempuan Enrekang yang berdiri di panggung, membawa cerita yang tidak tertulis di proposal mana pun.
Wakil Bupati Enrekang terlihat tersenyum.
Wajar.
Tidak setiap hari daerah kecil melahirkan nama yang besar karena pengabdian, bukan jabatan.
Sulfianingsih tidak hanya membawa pulang piagam. Ia membawa pesan: bahwa Enrekang punya perempuan yang berani, tangguh, dan bekerja dalam senyap.
Bahwa inspirasi tidak selalu lahir dari gedung tinggi.
Pos Terkait
Trending Post
Tidak ada komentar