Jumat, 26 Des 2025

Sengkang—Wajo Tidak Pernah Terburu-Buru, Ia Menenun

Katasulsel.com
26 Des 2025 18:06
Feature 0 137
4 menit membaca

Kokon-kokon yang siap panen dikumpulkan. Putih kekuningan. Ringan. Rapuh. Tapi di situlah nilai berada. Kokon direbus, benangnya ditarik, dipintal. Ada yang sudah memakai mesin. Ada yang masih bertahan dengan alat manual. Keduanya hidup berdampingan, tanpa saling meniadakan.

Yang tidak berubah adalah prinsipnya: benang sutra tidak boleh tergesa. Jika putus, ia kehilangan martabatnya. Jika ditarik kasar, kilau alaminya hilang.

Orang Wajo tahu itu.

Maka jangan heran jika satu kain sutra bisa dikerjakan berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan. Di zaman ketika segalanya dikejar tenggat, Sengkang justru mengajarkan satu hal: kualitas tidak pernah lahir dari terburu-buru.

Banner Promosi WiFi

Alat tenun gedongan itu sederhana. Tidak bising. Tidak bermesin. Ia digerakkan oleh tubuh penenun. Oleh kaki, pinggang, tangan, dan perasaan.

Mayoritas penenun adalah perempuan. Mereka menenun sambil mengawasi anak. Sambil berbincang. Sambil menyimpan cerita hidupnya di antara lungsi dan pakan.

Di sinilah sutra Sengkang menjadi sangat personal.

Setiap tarikan benang seperti percakapan diam antara penenun dan dirinya sendiri. Tentang rumah tangga. Tentang harapan. Tentang masa depan anak-anaknya. Tentang hidup yang harus tetap dijalani, setenang apa pun gejolaknya.

Motif tenun Sengkang tidak pernah netral. Ia selalu membawa makna.

Ada Sirsak Coppobola yang tegas.
Ada Ballo Makalu dan Ballo Renni yang rapi dan berimbang.
Ada Cabosi, Lagosi, dan motif-motif lain yang lahir dari dialog panjang antara tradisi dan kreativitas.

Salah satu kisah yang paling sering diceritakan adalah motif Mappagiling. Tentang seorang perempuan yang menenun sambil menanggung rindu. Setiap helai benang adalah doa. Setiap pola adalah kesabaran. Hingga akhirnya, kain itu menjadi jalan pulang bagi yang pergi.

Legenda?
Mungkin.

Tapi di Sengkang, legenda adalah cara kebudayaan mengingat dirinya sendiri.

Ada pula Balo Tettong dengan garis tegak—simbol keteguhan. Makkulu yang melingkar—lambang kesinambungan. Mallo’bang dengan ruang kosong—refleksi hidup. Balo Renni yang kecil-kecil dan rapi—disiplin dan ketekunan.

Beberapa kain disisipi wennang sau, benang tambahan yang membuat kain tampak hidup. Pada motif Bali Are, kain bahkan menyerupai damas—mengingatkan kita bahwa dahulu, tidak semua orang boleh mengenakannya.

Bagi orang Bugis, warna bukan kosmetik.

Merah adalah keberanian yang benar.
Putih adalah kesucian.
Hijau adalah kemakmuran.
Kuning adalah kemuliaan.
Hitam adalah duka dan kebijaksanaan.

Salah memilih warna, salah pula pesan sosialnya.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )