Di Sengkang-Wajo, Dari Ulat Menjadi Kain yang IndahItulah sebabnya kain sutra Sengkang tidak sekadar indah. Ia komunikatif. Ia bicara tentang siapa yang mengenakannya, dalam peristiwa apa, dan pada posisi sosial yang bagaimana.
Sutra di Wajo tidak pernah berdiri sendiri. Ia hadir dalam ritus hidup. Dalam pernikahan. Dalam upacara adat. Dalam penghormatan. Bahkan dalam kematian.
Ada kain yang disimpan puluhan tahun. Tidak dijual. Tidak dipamerkan. Hanya dikeluarkan pada momen tertentu. Seperti pusaka. Karena memang itulah fungsinya.
Teknologi masuk. Pasar berubah. Kain sintetis membanjiri etalase. Harga benang naik. Anak muda mulai melirik pekerjaan lain.
Namun Sengkang tidak runtuh.
Ia beradaptasi. Tanpa menyerah.
Alat modern dipakai untuk membantu, bukan menggantikan. Gedongan tetap hidup. Penenun tetap menenun. Murbei tetap ditanam. Sabbe tetap diturunkan sebagai identitas.
Sore hari, ketika matahari turun dan bunyi alat tenun pelan-pelan berhenti, saya paham satu hal:
di kota ini, kesabaran masih punya rumah.
Selama sabbe masih ditenun,
selama cerita masih diwariskan,
Sengkang tidak akan pernah selesai.
Ia akan terus ditenun. (*)
Tidak ada komentar