banner 640x200

Eksistensi Apotik Koperasi Desa Merah Putih dalam Hadirkan Obat Murah untuk Rakyat

Oleh: Dr. apt. Maryono, S.Si., M.Si.
Akademisi – Ketua PROJO Sidrap

DALAM lanskap pelayanan kesehatan nasional, kemunculan Apotik Koperasi Desa Merah Putih bukan sekadar terobosan administratif, tetapi cerminan dari transformasi struktural dalam sistem distribusi farmasi yang berbasis pada prinsip community empowerment dan social equity. Gagasan ini pertama kali digulirkan oleh kementerian terkait kala itu sebagai bagian dari revitalisasi fungsi koperasi dalam menyediakan akses kesehatan dasar yang adil, terjangkau, dan berkelanjutan di tingkat desa.

Integrasi Sistemik Klinik-Apotik: Model Sinergis Kesehatan Komunitas

Desain model integratif antara klinik dan apotik koperasi desa merupakan pendekatan one-stop health service, di mana pasien yang telah memperoleh resep dari dokter dapat langsung menebus obatnya tanpa harus berpindah lokasi. Konsep ini sangat tepat diterapkan di wilayah pedesaan yang secara geografis dan demografis sering menghadapi keterbatasan infrastruktur layanan kesehatan.

Di balik kemudahan tersebut, tersirat semangat pharmaceutical care yang menempatkan apoteker sebagai mitra strategis dalam proses terapi pasien, bukan sekadar sebagai dispenser obat. Kehadiran apotik koperasi desa menjadi bentuk nyata dari demokratisasi akses terhadap obat esensial dan obat generik yang harganya lebih rasional dan sesuai daya beli masyarakat kecil.

Makna Filosofis: Obat Murah sebagai Instrumen Keadilan Sosial

Dalam konteks ini, obat murah bukanlah komoditas, melainkan hak dasar (basic human right) yang harus dijamin oleh negara melalui instrumen kelembagaan rakyat, salah satunya koperasi. Koperasi desa merah putih bukan hanya badan usaha, tetapi institusi sosial yang memiliki ruh kolektivitas untuk menyejahterakan anggotanya, termasuk dalam menjamin kesehatan preventif dan kuratif.

Filosofi koperasi yang berakar pada prinsip “dari, oleh, dan untuk anggota” memberi legitimasi moral untuk menyubsidi atau mempermudah akses obat bagi anggota yang terverifikasi tidak mampu. Pendekatan ini juga mencerminkan semangat solidarity economy, di mana keuntungan bukan tujuan utama, melainkan alat untuk menciptakan social safety net dalam aspek kesehatan.

Tantangan Struktural: Antisipasi dan Solusi

Namun, skenario ideal ini tentu tak luput dari tantangan implementatif. Setidaknya terdapat empat kendala utama yang mesti diantisipasi:

  1. Keterbatasan Stok dan Variasi Obat
    Dalam farmakoekonomi, ketersediaan obat seharusnya berbasis pada disease prevalence. Oleh karena itu, sistem pengadaan harus dirancang dengan pendekatan evidence-based supply chain, yakni mengacu pada data prevalensi penyakit di desa setempat. Idealnya, apotik koperasi desa menyediakan 2.000–3.000 jenis obat dengan prioritas pada obat generik berlogo (OGB), obat generik bermerek, serta beberapa obat paten untuk kasus tertentu.
  2. Rendahnya Literasi Kesehatan Masyarakat
    Banyak masyarakat pedesaan masih memegang kepercayaan tradisional dalam penyembuhan penyakit. Di sinilah peran clinical pharmacist menjadi penting untuk melakukan pharmaceutical counseling terkait mekanisme kerja obat, efek samping, dosis, hingga interaksi obat. Edukasi ini perlu dilakukan secara terus-menerus sebagai bagian dari public health literacy campaign.
  3. Fasilitas Terbatas dan Alat Diagnostik Dasar
    Pengadaan alat point-of-care testing (POCT) seperti alat ukur gula darah, tekanan darah, dan asam urat menjadi keharusan. Ini mendukung early detection dan rational drug use, sehingga apoteker dapat memberi rekomendasi berbasis data kuantitatif yang akurat.
  4. Manajemen dan Keberlanjutan Ekonomi Apotik
    Apotik koperasi desa harus dikelola secara profesional dengan prinsip good pharmacy governance. Struktur pembiayaan harus mencakup cost recovery, margin usaha (idealnya 15–20%), serta pengalokasian dana untuk pengembangan fasilitas. Model ini telah terbukti berhasil di beberapa wilayah India melalui sistem Jan Aushadhi, di mana apotik koperasi berperan besar dalam distribusi obat murah tanpa mengorbankan kelayakan usaha.

Arah Kebijakan: Peran Negara dalam Membangun Kemandirian Farmasi Desa

Keberadaan Apotik Koperasi Desa Merah Putih harus dilihat dalam kerangka besar reformasi sistem kesehatan nasional yang bersifat inklusif dan partisipatif. Dukungan dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Koperasi melalui Menteri Budi Arie Setiadi, menjadi tonggak penting dalam mendorong keterlibatan koperasi sebagai aktor utama dalam penyediaan obat murah.

banner 300x600

Namun, ke depan, dibutuhkan regulasi yang mendorong pembinaan terpadu antara Dinas Kesehatan, Dinas Koperasi, dan Perguruan Tinggi Farmasi, agar kualitas layanan dan kontinuitas penyediaan obat tetap terjaga. Program pendampingan apoteker, pelatihan berkelanjutan, dan sistem audit mutu pelayanan farmasi harus dirancang sebagai bagian dari penguatan kelembagaan apotik koperasi desa.

Harapan dan Komitmen Kolektif

Eksistensi Apotik Koperasi Desa Merah Putih adalah simbol dari health equity yang dibangun dari bawah. Bukan semata proyek sosial, tetapi manifestasi politik keberpihakan pada rakyat kecil. Jika dikelola dengan baik, apotik ini akan menjadi jangkar keseimbangan dalam sistem kesehatan yang kini cenderung berorientasi pasar.

Obat murah untuk rakyat bukan hanya mungkin, tetapi harus diwujudkan—sebagai wujud dari negara yang hadir di setiap denyut nadi kehidupan desa. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup