La Kona Mabuk dan Parangi Sepupu di Parepare Kini Dimaafkan Lewat Jalan Damai
Makassar — Kadang, luka tak hanya membekas di tubuh, tapi juga di hati. Seperti yang terjadi di Parepare, ketika sebuah insiden penganiayaan antara dua sepupu, La Kona (22) dan Saiful (37), nyaris menjadi catatan kelam yang terus membayang. Namun, Jumat, 9 Mei 2025, sebuah jalan damai dipilih: bukan karena lupa, melainkan karena ikhlas.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Agus Salim, dalam ekspose virtual bersama jajarannya dan Kejari Parepare, menyetujui permohonan penyelesaian perkara ini melalui Keadilan Restoratif. Disaksikan Wakajati Sulsel Teuku Rahman, Koordinator Nurul Hidayat, dan Kajari Parepare Abdillah, keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan kemanusiaan di atas formalitas.
Kasus ini bermula dari malam yang tak tenang. Tersangka, La Kona, seorang pemuda penjual ikan, tersulut emosi dan alkohol. Dalam keadaan mabuk, ia mengayunkan parang ke sepupunya sendiri. Luka di punggung, lengan, dan leher menjadi saksi betapa gelap sesaat bisa merusak segalanya. Tapi waktu, keluarga, dan niat baik membuka jalan baru.
Bukan tanpa alasan Kejari Parepare mengajukan RJ. Tersangka belum pernah melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya berada di bawah lima tahun, korban dan pelaku sepakat berdamai, dan yang terpenting, mereka bersaudara dan bertetangga. Sebuah simpul hubungan yang jika putus, menyisakan lebih dari sekadar duka.
Agus Salim pun menyatakan bahwa perkara ini memenuhi seluruh unsur sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020. Ia menggarisbawahi pentingnya zero transaksional dalam proses hukum dan meminta Kejari Parepare untuk menjaga transparansi hingga tahap administrasi selesai dan tersangka dibebaskan.
“Kami sudah menyaksikan sendiri testimoni korban dan pelaku. Ini bukan hanya soal hukum, tapi tentang perbaikan, tentang memulihkan, bukan membalas,” ujar Agus Salim dalam keterangannya.
Lebih dari sekadar keputusan hukum, ini adalah narasi tentang dua keluarga yang memilih untuk sembuh bersama, bukan saling menghukum. Tentang pemuda yang masih punya waktu untuk memperbaiki hidup, dan tentang sistem hukum yang mulai membuka ruang untuk keadilan yang lebih menyentuh nurani. (edybasri)