Example 650x100

Kendari, Katasulsel.com — Kota Kendari, sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, mencatatkan dinamika yang kontras dalam komposisi intelektual penduduknya.

Berdasarkan data resmi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) per Desember 2024, populasi kota ini telah mencapai 366.450 jiwa. Namun, realitas pendidikan menunjukkan distribusi kognitif yang timpang dan memantik kekhawatiran akan disparitas struktural dalam pembangunan sumber daya manusia.

Dari keseluruhan populasi, hanya 16,33% yang menapaki jenjang pendidikan tinggi. Ini meliputi lulusan Diploma 1 dan 2 sebesar 0,42%, Diploma 3 sebesar 2,03%, Strata 1 sebanyak 12,03%, Strata 2 sejumlah 1,68%, dan Strata 3 hanya 0,162%. Jika dikonversi secara numerik, maka hanya 592 orang bergelar doktor (S3) dari seluruh warga Kendari—sebuah rasio yang menempatkan mereka dalam kategori cognitive elite atau elit kognitif.

Sebaliknya, proporsi yang jauh lebih besar justru berada pada spektrum pendidikan menengah dan rendah. Lulusan SMA mendominasi dengan 31,21% dari total populasi, setara dengan 114.390 jiwa. Diikuti oleh lulusan SMP sebanyak 11,43% (41.880 jiwa), tamat SD 8,97% (32.860 jiwa), dan kelompok yang belum tamat SD sebanyak 9,65% (35.370 jiwa).

Yang lebih mengkhawatirkan adalah kelompok dengan status functionally illiterate, yaitu warga yang tidak atau belum pernah mengenyam pendidikan formal, mencapai angka 22,41% atau setara 82.120 jiwa. Kondisi ini menimbulkan tantangan serius dalam proses human capital formation serta memperkuat argumentasi bahwa literasi bukan hanya perihal membaca dan menulis, tetapi juga tentang akses dan distribusi pendidikan yang merata.

Ketimpangan ini menyiratkan adanya educational stratification, sebuah gejala sosial di mana tingkat pendidikan menjadi penanda utama status sosial-ekonomi seseorang. Dalam konteks Kendari, fenomena ini memperlihatkan dominasi subaltern class yang belum terintegrasi secara optimal dalam sistem pendidikan nasional. Kendati telah tersedia berbagai kebijakan afirmatif, namun educational attainment gap tetap terbuka lebar.

Paradoks kota yang sedang berkembang seperti Kendari ini menunjukkan bahwa urbanisasi tidak selalu paralel dengan peningkatan mutu pendidikan. Tanpa intervensi yang berbasis data dan berorientasi pada inclusive education policy, angka-angka ini bisa menjadi representasi stagnasi jangka panjang dalam pembangunan modal intelektual.(*)