Selamat Sidrap (ku), Teruslah Menulis Sejarah
Yang kita butuhkan sekarang bukan hanya pembangunan fisik. Tapi juga pembangunan batin di balik anggaran.
Oleh: Edy Basri
Ya, memang bukan sekadar gedung, bukan juga hanya jalan, atau pun jembatan. Tapi juga: kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas.
Di situlah Pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang mengambil jalannya sendiri. Jalan sunyi. Jalan sepi. Tapi mulia. Jalan menuju WTP ke-9 berturut-turut.
Saya menyebutnya: jalan sunyi akuntabilitas.
Karena tidak banyak yang peduli soal Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Tidak semenarik berita politik. Tidak seheboh konten TikTok.
Tapi, bagi seorang birokrat yang tahu persis rumitnya penyusunan anggaran, LKPD adalah urat nadi.
Dan WTP adalah detak jantungnya.
Senin pagi yang biasa di Kota Makassar.
Jalan A.P. Pettarani tidak lebih ramai dari biasanya.
Tapi di salah satu gedung penting di ruas itu, suasana sedang tidak biasa.
Gedung BPK Perwakilan Sulsel menjadi saksi.
Penyerahan LHP LKPD kepada pemerintah daerah berlangsung hening—namun bersejarah.
Wakil Bupati Sidrap, Hj. Nurkanaah, menerima langsung opini WTP dari Kepala BPK Sulsel, Winner Franky Halomoan Manalu.

Terdengar sederhana: “WTP ke-9.”
Tapi bagi birokrasi, itu adalah Tugas Negara yang tak bisa hanya dikerjakan dengan pena dan stempel.
Itu butuh kalkulasi akutansi, disiplin fiskal, dan etika anggaran.
Butuh kerja keras dari pejabat daerah hingga operator SAKIP di balik layar.
Saya jadi ingat sebuah teori lama dari pakar manajemen publik, Hood (1991): Bahwa New Public Management menekankan efisiensi dan hasil.
Dan, opini WTP adalah bukti bahwa Sidrap tidak hanya menyerap anggaran, tapi menyajikannya dengan wajar, tertib, dan akurat.
Empat syarat WTP bukan main-main:
- Kesesuaian dengan SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan),
- Kecukupan Pengungkapan,
- Efektivitas SPI (Sistem Pengendalian Intern),
- Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
Masing-masing butuh kesadaran kolektif dari seluruh perangkat daerah. Mulai dari Bappeda hingga BKAD. Dari camat hingga bendahara kecamatan.
Semua ikut menulis skenario besar: agar satu kalimat itu terwujud. “Sidrap meraih WTP ke-9 secara berturut-turut.”
Di tengah kebanggaan itu, saya melihat ada satu wajah yang tampak paling tenang.
Bukan Ketua DPRD Takyuddin Masse. Bukan pula Sekda Andi Rahmat Saleh.
Tapi Nurkanaah. Sang Wakil Bupati.
Ia tidak bicara banyak. Hanya satu kalimat: “Ini hasil kerja keras semua perangkat daerah dan dukungan seluruh pihak.”
Kalimat klise? Mungkin. Tapi dalam dunia birokrasi, itu mantra. Karena satu kesalahan kecil, satu tanda tangan fiktif, satu transaksi gelap—cukup menggugurkan semuanya.
Kita tidak bicara soal hebatnya angka belanja. Kita bicara soal etika fiskal dan tanggung jawab moral.
Maka bagi saya, Sidrap hari ini bukan hanya sukses secara angka. Tapi juga telah mengajarkan kita satu hal: Bahwa integritas bisa menjadi sistem. Bukan hanya ucapan.
Kalau WTP bisa diraih 9 kali berturut-turut, maka bisa juga menjadi DNA birokrasi.
Menjadi kebiasaan. Menjadi budaya. Menjadi cara berpikir.