Kado 1 Juli dari Kapolda: Fantry dan Sidrap Diganjar Penghargaan
Bukan letusan. Tapi ini dentum dari ruang sidang Dewan Penghargaan Polda Sulsel, 4 Juni lalu.
Penulis: Edy Basri
Iya. Saya menyebut ini sebagai dentum apresiasi. Tembakan kehormatan. Tepat sasaran ke Sidrap.
Dan hari iniβ23 Juni 2025βdentum itu meledak jadi bunga penghargaan.
Dalam upacara khidmat di halaman Polda Sulsel, satu nama disebut lebih keras dari lainnya:
AKBP dr. Fantry Taherong, S.H., S.I.K., M.H.
Ini bukan sembarang apresiasi.
Ini kado ultah 1 JuliβHari Bhayangkara. Dari seorang jenderal:
Bapak Irjen Pol. Drs. Rusdi Hartono, M.Si., Kapolda Sulselβuntuk para petarung senyap yang selama ini berjibaku di medan yang tak selalu kelihatan kamera: perang terhadap narkotika, intelijen wilayah, dan dugaan penyimpangan subsidi.
Bukan hanya Fantry yang naik panggung. Ia ditemani oleh orang-orang yang tak pernah tampil di baliho:
- AKP Setiawan Sunarto (Kasat Reskrim),
- IPTU Didik Sutikno Mugiarno (Kasat Narkoba),
- IPTU Andi Aswan (Kasat Intelkam),
- dan 24 personel lainnya, yang kini namanya masuk dalam daftar emas sistem meritokrasi Polri.
Mereka bukan hanya bekerja. Mereka berinovasi.
Fantry, yang berlatar belakang pendidikan dokter dan hukum, tidak sedang memburu jabatan. Ia memburu ketertiban sosial.

Dalam teori public service motivation, ini disebut sebagai orientasi altruistik pada pelayanan.
Ia ingin negara hadir, bahkan sebelum masyarakat meminta.
“Ini kerja tim. Bukan panggung individu,” katanya saat ditemui di Polres Sidrap, dengan gaya sederhana khasnya.
Tapi kita tahu: tidak semua tim punya komandan seperti Fantry.
Tegas. Lugas. Terukur.
Ia tak suka sorotan, tapi kali ini cahaya terang memang sedang memeluknya.
Kenapa Sidrap?
Karena dari Sidrap, pengungkapan kasus narkotika kelas berat bukan sekali dua kali.
Karena dari Sidrap, penyelidikan pupuk bersubsidi mencuat dan menggugah publik.
Dan karena dari Sidrap pula, muncul pendekatan intelijen yang cermat, bukan hanya represif.
Model predictive policing yang digunakan mampu mengubah potensi gangguan menjadi laporan kosong.
Singkatnya: mereka mengamankan sebelum masalah itu meledak.
Kapolda Sulsel, dalam amanatnya, berbicara dengan bahasa sistem:
“Reward harus adil dan transparan. Ini bukan seremoni. Ini sistem yang harus hidup dalam tubuh organisasi.“
Bahasa manajemen modern menyebutnya: performance-based culture.
Di kepolisian, ini adalah ruh dari reformasi birokrasi.
Fantry dan timnya kini berdiri di titik prestasi.
Tapi ia tahu: puncak ini licin.
Bersambung……
π’ Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
π Klik di sini & tekan Ikuti