PPDB SMA Negeri 1 Barru Tuai Kekecewaan Orang Tua

BARRU, Katasulsel.com — Di tengah geliat penerimaan peserta didik baru (PPDB), sejumlah siswa lulusan SMP Negeri 1 Barru justru terpental dari gerbang SMA Negeri 1 Barru—padahal rumah mereka hanya sepelemparan batu dari sekolah tersebut. Mereka berdomisili di Kelurahan Sumpang Binangae, wilayah administratif yang secara logika zonasi seharusnya menjadi prioritas.

Namun logika itu kandas oleh sebuah regulasi. Bukan aturan dari sekolah, tetapi dari atas: Petunjuk Teknis (Juknis) Gubernur Sulawesi Selatan yang membuka ruang bagi pendaftar dari luar domisili. Ruang itulah yang kini dipenuhi oleh siswa dari luar zonasi, dan sebagian siswa lokal terpaksa gigit jari.

MM dan AS, dua orang tua siswa yang anaknya tidak lolos, hanya bisa menatap bingung. “Kami sangat sayangkan regulasi yang menyusahkan siswa. Kami berharap kepada anggota DPRD Barru agar hak anak-anak kami diperjuangkan,” ujarnya. Ucapan itu bukan sekadar keluh, tetapi jeritan kebijakan yang dirasa kehilangan rasa keadilan.

Bagi mereka, konsep zonasi yang digaungkan pemerintah pusat tak lagi bermakna ketika praktiknya membuka celah interpretasi. Jarak yang semestinya menjadi faktor determinan justru dikaburkan oleh jalur alternatif. Mereka menuntut revisi terhadap Juknis tersebut—bukan untuk menutup akses siswa luar, tetapi agar tidak mengorbankan anak-anak yang tinggal hanya beberapa langkah dari pagar sekolah.

Kepala SMA Negeri 1 Barru, Rosma, tak menampik situasi itu. Menurutnya, sistem PPDB mengacu pada dua jalur: domisili dan nondomisili. Domisili mencakup desa dan kelurahan sekitar sekolah, sementara jalur nondomisili terbuka bagi siapa pun sesuai ketentuan teknis yang berlaku. “Kami mempertimbangkan jarak dan kemampuan akademik siswa,” ujarnya.

Namun dalam praktiknya, seleksi berdasar jarak kerap tumpang tindih dengan nilai akademik dan persepsi prestise sekolah. Apalagi dengan keterbatasan daya tampung, situasi menjadi kian sensitif. Siswa yang secara geografis lebih dekat bisa kalah oleh yang memiliki nilai lebih tinggi meski dari luar zonasi.

Situasi ini tak luput dari perhatian Forum Jurnalis Kabupaten Barru. Ketua forum, Ir. Samid, menyatakan bahwa pihaknya akan terus memantau perkembangan kasus ini. “Kami akan memperjuangkan hak siswa lokal dan berkoordinasi dengan sekolah serta Pemkab Barru agar persoalan ini tidak menjadi preseden buruk setiap tahun,” tegasnya.

Dinamika PPDB tahun ini menunjukkan satu hal: bahwa kebijakan pendidikan belum sepenuhnya mampu menjawab aspirasi lokal. Di satu sisi, sistem dibangun untuk membuka kesempatan seluas-luasnya. Di sisi lain, keadilan spasial dan sosial belum sepenuhnya terwakili.

banner 300x600

Zonasi semestinya bukan hanya soal peta, tapi soal etika. Ketika siswa lokal tak punya ruang di sekolahnya sendiri, maka wajar bila publik mulai bertanya: apakah sistem ini dibangun untuk mendekatkan pendidikan, atau justru menjauhkan?

Isu ini kini menggantung di ruang evaluasi. Dan publik menanti: akankah logika pemerataan tetap lebih penting dari rasa keadilan? Atau mungkinkah keduanya bisa bertemu di satu titik yang manusiawi?

Editor: Tipue S / Reporter: Asridal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup