Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi) kembali membuat pernyataan politik yang mengundang tafsir luas.
Dalam acara Kongres Luar Biasa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo, baru-baru ini, Jokowi menyatakan keyakinannya bahwa PSI akan menjadi partai besar dan kuat pada 2034, bukan 2029.
Pernyataan ini sontak menimbulkan pertanyaan: apakah Jokowi sedang memberi sinyal bahwa ia tidak akan mengganggu jalan politik Presiden Terpilih Prabowo Subianto hingga dua periode?
Pernyataan Jokowi itu, meski terlihat seperti dukungan normatif kepada PSI, sebenarnya bisa dibaca lebih dalam.
Jokowi menyampaikan dukungannya secara terbuka, menyebut akan “membantu penuh” PSI, namun secara bersamaan juga menegaskan bahwa waktu kejayaan partai itu belum akan datang di pemilu 2029.
Dalam konteks politik nasional, ini merupakan sinyal penting. Dengan menyebut tahun 2034, Jokowi seolah ingin memastikan bahwa PSI—partai yang kini dipimpin putranya, Kaesang Pangarep—tidak menjadi kendaraan politik untuk berebut kekuasaan terlalu cepat.
Secara tersirat, ia sedang menahan langkah PSI agar tidak menjadi ancaman bagi koalisi Prabowo, atau bahkan Prabowo sendiri, di pemilu berikutnya.
Di sisi lain, pernyataan ini juga bisa dibaca sebagai bentuk kompromi politik antara Jokowi dan Prabowo. Setelah pilpres 2024 yang memperlihatkan keterlibatan Jokowi dalam pemenangan Prabowo–Gibran, hubungan kedua tokoh ini disebut semakin cair.
Jokowi tidak lagi tampak sebagai sosok yang akan mendirikan poros baru yang berseberangan dengan pemerintahan.
Ia memilih jalan yang lebih halus: mendampingi dari luar, membangun kekuatan politik pelan-pelan, dan menempatkan PSI sebagai cadangan strategis untuk masa depan, bukan sebagai alat perebut kekuasaan jangka pendek.
Pernyataan ini juga menandai bahwa Jokowi, setidaknya dalam narasi terbuka, tidak akan menabrak batas tak tertulis yang ada di dalam tradisi politik Indonesia: memberi ruang penuh bagi presiden baru menjalankan tugasnya.
Dengan tidak mendorong PSI tampil penuh pada 2029, Jokowi secara tak langsung membiarkan Prabowo menjalani masa pemerintahannya tanpa tekanan politik dari lingkaran internal Jokowi sendiri.
Namun tentu saja, politik bersifat cair. Meski Jokowi menyebut 2034, segala kemungkinan tetap terbuka. PSI bisa saja tetap bermanuver pada 2029, tergantung dinamika nasional.
Tapi untuk saat ini, sinyal yang dikirim Jokowi jelas: ia tidak sedang menyiapkan rival untuk Prabowo dalam waktu dekat, melainkan menanam bibit kekuatan politik baru yang akan dipanen setelah Prabowo selesai memimpin.
Jika dibaca jernih, ini bukan hanya strategi jangka panjang Jokowi, tapi juga penegasan bahwa ia, untuk sementara, memilih tidak menjadi batu sandungan bagi stabilitas dua periode Prabowo.
Dalam politik, diam bisa jadi kekuatan. Dan Jokowi tampaknya sedang memainkan kartu itu. (*)
Editor: Edy Basri
Tidak ada komentar