Marak terjadi—penarikan kendaraan oleh perusahaan pembiayaan (leasing) atau debt collector secara sepihak, hanya karena keterlambatan cicilan.
Oleh: Edy Basri, S.H – Jurnalis/Legal Scholar
Iya. Ini sering kali terjadi, bahkan di depan mata kita, bahkan baru-bari ini menimpa rekan saya. Yaa, itu sebabnya meluangkan waktu menulis artikel ini dan berharap tidak terulang terus menerus dan menimpa orang-orang sekeliling kita.
Tanpa pemberitahuan pengadilan, tanpa itikad dialog, kendaraan konsumen diseret dari jalan umum, pekarangan rumah, bahkan tempat kerja. Aksi ini tidak hanya meresahkan, tetapi juga berbahaya bagi kepastian hukum dan hak konstitusional warga negara.
Pertanyaan utamanya sederhana: apakah leasing atau debt collector berhak menarik paksa kendaraan bermotor konsumen di luar jalur hukum? Jawabannya: tidak.
Penarikan kendaraan dalam skema pembiayaan kredit tidak bisa serta-merta dilakukan hanya karena konsumen menunggak. Objek jaminan fidusia—dalam hal ini kendaraan—diatur secara ketat oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan dipertegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Mahkamah Konstitusi telah menegaskan, meskipun dalam akta fidusia terdapat klausul eksekusi sendiri, pelaksanaan eksekusi hanya sah jika empat syarat terpenuhi:
Jika keempat syarat ini tidak terpenuhi, maka tindakan penarikan oleh leasing atau pihak ketiga adalah tidak sah secara hukum. Terlebih bila dilakukan dengan unsur paksaan, intimidasi, atau kekerasan, maka perbuatan tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
Hukum pidana Indonesia jelas mengatur:
Perlu digarisbawahi: surat somasi bukanlah dasar hukum untuk eksekusi. Somasi hanyalah bentuk teguran administratif, bukan perintah eksekusi yang mengikat. Ketika perusahaan leasing mengklaim bahwa mereka berhak menarik kendaraan karena telah mensomasi konsumen, mereka sebenarnya sedang menyalahgunakan hukum.
Lebih tragis lagi, banyak konsumen yang akhirnya menyerah, karena tidak memahami hak-haknya atau takut terhadap ancaman debt collector. Padahal, hukum memberikan perlindungan tegas. Konsumen yang menghadapi penarikan paksa berhak menolak, berhak mendokumentasikan tindakan tersebut, dan berhak melapor ke kepolisian maupun OJK.
Praktik leasing yang bertindak semena-mena terjadi karena ada tiga faktor utama: minimnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan ketidaktahuan masyarakat. Ini adalah bentuk ketimpangan kekuasaan yang dibalut dengan baju legalitas semu.
Saya perlu tegaskan, leasing bukan penegak hukum. Tidak ada satu pun norma hukum di negeri ini yang memberi mereka wewenang seperti juru sita. Bila mereka tetap menarik kendaraan secara paksa di luar mekanisme peradilan, maka mereka bukan sedang menjalankan hak perdata, melainkan tengah melanggar hukum pidana.
Negara hukum tidak memberi ruang pada siapa pun untuk menjadi algojo jalanan. Perusahaan pembiayaan harus belajar taat konstitusi. Dan masyarakat harus bangkit, sadar, dan berani memperjuangkan hak hukumnya.
Kita tidak boleh membiarkan hukum diinjak-injak oleh kekuatan modal. Sebaliknya, kita harus memastikan bahwa hukum bekerja untuk setiap warga negara, termasuk mereka yang sedang terlilit cicilan. Karena pengetahuan hukum bukan hanya alat perlindungan—ia adalah bentuk perlawanan terhadap penindasan sistemik. (*)
Tidak ada komentar