Penulis: ARIQ IMTYAZ GAILE
Tapi, di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, cerita tentang sampah berubah total. Sampah tidak lagi dianggap musuh. Malah dijadikan ladang peluang.
Ini berkat mahasiswa-mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian (HIMATEPA) Universitas Hasanuddin. Mereka datang dengan satu program unik: AGROFARM. Nama yang sederhana, tapi isinya luar biasa.
Pada Jumat, 8 Agustus 2025, 37 orang dari berbagai kalangan—muda, tua, petani, ibu rumah tangga—berkumpul di kantor desa. Mereka bukan sekadar mendengarkan ceramah teori. Tapi ikut belajar, praktek, dan berdiskusi soal pengelolaan sampah dan budidaya maggot.
Sesi pertama, Rosalinda dari Yayasan Lestari Mulia, membuka wawasan. Sampah organik dan anorganik harus dipilah sejak rumah tangga. Ini langkah pertama yang sering terabaikan.
Lalu, sampah organik diubah jadi pupuk kompos dan pupuk cair menggunakan komposter sederhana. Metode yang ternyata mudah dan ramah lingkungan. Dari yang tadinya bau, kotor, dan dianggap limbah, berubah jadi “emas hijau” untuk menyuburkan tanah.
“Dengan mengolah sampah, kita tidak hanya menjaga lingkungan,” ujar Rosalinda, “tapi juga menyuburkan lahan pertanian kita.”
Sesi berikutnya makin menarik. Andi Nurdianza memperkenalkan budidaya maggot — larva lalat Black Soldier Fly.
Maggot ini, kata Andi, pahlawan pengurai sampah organik. Mereka mampu mengurangi volume sampah secara signifikan. Tapi bukan cuma itu. Maggot juga bernilai ekonomi tinggi. Bisa jadi pakan unggas dan ikan yang kaya protein.
Lebih jauh, Andi juga menunjukkan produk turunan maggot seperti skincare dan sabun. Produk yang sebelumnya mungkin tak terbayangkan bisa lahir dari larva lalat.
Para peserta antusias. Mereka bertanya detail, mencoba alat, dan membayangkan peluang usaha.
Wandi, petani muda yang ikut pelatihan, bilang, “Sampah di dapur selama ini saya anggap masalah. Ternyata bisa jadi peluang. Budidaya maggot cocok untuk pakan ternak ayam saya.”
Pelatihan ini bukan sekadar transfer ilmu. Ini juga soal membangun kesadaran dan kapasitas masyarakat desa. Apalagi bagi pemuda-pemudi Sanggar Tani Muda yang selama ini sudah bergerak aktif.
AGROFARM bukan program sekali lalu selesai. Ini bagian dari gerakan berkelanjutan untuk memberdayakan masyarakat, meningkatkan kesadaran lingkungan, sekaligus membuka jalur ekonomi baru.
Dari Nisombalia, cerita kecil tapi bermakna lahir. Bahwa masalah yang dianggap berat bisa diubah jadi solusi. Bahwa dari sesuatu yang dianggap sampah, bisa muncul peluang baru.
Dahlan Iskan pernah bilang: “Solusi itu sering sederhana. Tapi kita harus mau melihat dan berani mencoba.”
Di sini, di Nisombalia, mereka sudah membuktikan itu. Sampah kini bukan lagi beban, tapi berkah. Ladang yang bisa menyuburkan tanah dan mengisi pundi-pundi.
Dan siapa sangka, dari desa kecil di Maros, akan muncul inspirasi besar untuk banyak daerah lain.
Inilah bukti, inovasi dan perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil, yang sering kita abaikan. Sampah bisa jadi ladang, jika kita mau membuka mata dan tangan.
Dan itu adalah pelajaran yang sangat berharga. (*)
Editor: Edy Basri
Tidak ada komentar