Penulis: Edy Basri
60 hari – 60 kilogram sabu. Angka itu bukan metafora. Itu nyata, kasat mata, berbentuk kristal bening dalam bungkus teh China Guangying Wan, disita di Pelabuhan Nusantara.
Saya masih ingat, pertama kali mengenalnya tahun 2017. Saat itu ia baru AKP, menjabat Kasat Narkoba Polres Sidrap. Posisinya kecil, tapi sorot matanya tidak.
Mata seorang polisi yang tidak sabaran kalau kejahatan dibiarkan tumbuh. Dari Sidrap ke Parepare, dari pangkat Ajun Komisaris ke Ajun Komisaris Besar, satu hal yang tidak berubah: ritme cepatnya.
Dan benar. Begitu masuk Parepare, Juli lalu, ia langsung mengguncang. Belum genap 20 hari, sebuah koper biru navy berisi 19,7 kilogram sabu digagalkan. Nilainya: sekitar Rp16 miliar. Jumlah jiwa yang terselamatkan: hampir 100 ribu orang, jika dihitung dosis.
Sebulan kemudian, sindikat mencoba lagi. Skala lebih besar. 44 kilogram sabu dari Samarinda diselundupkan lewat kapal KM Aditya.
Sama-sama jalur laut, sama-sama target transit Parepare. Bedanya, kali ini Polres tidak sekadar menggagalkan. Mereka memukul balik: mengungkap pola, jejaring, hingga jalur keuangan yang mengalir lewat kripto.
Indra tidak banyak bicara. Kalimatnya pendek, datar: “Saya tak ingin mereka nyaman di sini.”
Tapi sindikat tahu, kalimat itu adalah sinyal perang. Dan perang itu kini nyata: dua kali strike, dua kali pula bandar besar kehilangan barang.
Apa arti 60 kilogram sabu dalam 60 hari? Mari kita sederhanakan. Itu berarti ratusan miliar rupiah barang haram gagal beredar.
Itu berarti ribuan anak muda terselamatkan. Itu berarti, Parepare—kota pelabuhan yang mulai dipetakan sebagai “jalur emas” sindikat narkoba lintas provinsi—mendadak jadi ladang yang penuh ranjau bagi para kurir.
Di lobi Mapolres Parepare, saat konferensi pers, saya perhatikan ia berdiri di tengah. Tidak banyak senyum. Tidak banyak seremoni. Tapi ada rasa bangga yang diam-diam terpancar: ini bukan kemenangan pribadi, ini kemenangan kota.
Kini, publik Parepare tahu: ada Kapolres yang tidak hanya duduk di kursi, tapi berdiri di garis depan.
Ada polisi yang tidak sibuk mengurus seremoni, tapi mengatur strategi lapangan. Ada Indra, yang sejak Sidrap hingga Parepare tetap memegang satu prinsip: kecepatan, kejutan, konsistensi.
Enam puluh hari, enam puluh kilo. Sebuah rekor yang tidak diminta, tapi tercatat. Dan sindikat tahu: selama ia di sini, Parepare bukan lagi kota transit. Parepare adalah garis perbatasan.(*)
Tidak ada komentar