Makassar, Katasulsel.com – Indonesia menempati posisi pertama secara global sebagai negara dengan konten eksploitasi hewan tertinggi di media sosial. Fakta ini diperoleh dari laporan Asia For Animal Coalition pada 2021 yang menemukan bahwa dari 5.480 konten eksploitasi hewan di dunia, sebanyak 1.626 konten (29,67%) di antaranya berasal dari Indonesia. Hal inilah yang mendorong Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Hasanuddin (UNHAS) untuk melakukan riset lanjutan guna mengkaji fenomena tersebut secara mendalam.
Tim lintas fakultas yang diketuai oleh Besse Anisa Mufida dengan anggota Nur Rifqah Zain, Putri Annisa, dan Andi Febriyanti, serta dibimbing oleh drh. Rian Hari Suharto, M.Sc., meneliti bagaimana hewan digunakan dalam konten video yang mendatangkan keuntungan finansial melalui riset bertajuk “Eksploitasi atau Empati? Analisis Pelibatan Hewan untuk Keuntungan Finansial di Media Sosial dengan Perspektif Animal Ethics dan Animal Welfare. Tim riset menemukan bahwa di antara 100 video hewan yang diunggah 100 akun di Instagram, TikTok, dan YouTube, sebanyak 53% video di antaranya mengandung unsur kekejaman terhadap hewan. Hewan kesayangan seperti kucing dan anjing menjadi kelompok paling sering digunakan dalam konten digital. Bentuk monetisasi paling banyak dilakukan melalui endorsement, disusul penjualan produk dan iklan.
Riset ini juga menganalisis persepsi 421 responden di sembilan provinsi Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Mayoritas responden mampu mengenali konten eksploitasi hewan di media sosial, terutama bentuk eksploitasi yang terlihat secara jelas seperti sabung ayam dan topeng monyet. Kemampuan responden untuk menilai perlakuan terhadap hewan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka menyadari adanya praktik eksploitasi dan seberapa tinggi tingkat empati yang dimiliki. Selain itu, terlepas dari apakah responden merasa terhibur atau tidak dari suatu konten, tidak memengaruhi prinsip moral dan etika yang mereka pegang terkait hewan.
Dalam sesi wawancara dan focus group discussion dengan narasumber ahli, seorang pakar kesejahteraan hewan menegaskan bahwa praktik pelibatan hewan dalam konten media sosial memiliki kecenderungan eksploitasi yang seringkali tersamar di balik tampilan “lucu” atau “menghibur.” Eksploitasi ini terlihat jelas ketika hewan diperlakukan tidak sesuai perilaku alaminya.
Celah Regulasi Jadi Tantangan
Tingginya angka eksploitasi hewan ini diperparah oleh ketiadaan payung hukum yang spesifik. Narasumber dari unsur pemerintah menjelaskan bahwa regulasi yang mengatur pemanfaatan hewan secara spesifik di media sosial belum ada. Namun, jika perlakuannya parah, sudah bisa dikategorikan sebagai tindakan penganiayaan yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 dan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta PP Nomor 95 Tahun 2012.
Kendala juga muncul dari sisi platform. Narasumber yang berlatar belakang aktivis kesejahteraan hewan menambahkan bahwa moderasi konten di Indonesia masih lemah. Sebagai perbandingan, di Inggris, laporan kekejaman hewan akan menghasilkan notifikasi berupa peringatan (violation notice) ke pembuat kontennya. Menurutnya, peraturan yang sekuat itu belum dapat diterapkan di Indonesia.
Model Perlindungan Hewan Berbasis Enam Strategi Kunci
Berdasarkan hasil analisis dari temuan-temuan riset, tim peneliti UNHAS yang menamakan dirinya Tim SafePaw ini merumuskan sebuah model perlindungan untuk mengatasi dampak berkelanjutan dari fenomena penggunaan hewan dalam video media sosial. Model ini disusun berdasarkan faktor penyebab munculnya fenomena ini dan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Pertama, pembuat konten disarankan untuk tidak melibatkan hewan jika tidak benar-benar diperlukan. Kedua, mereka juga perlu memahami sebesar apa pengaruh konten yang mereka unggah sehingga perlu panduan etika dalam penggunaan hewan bagi para pembuat konten. Ketiga, masyarakat perlu menyadari adanya perlakuan yang tidak layak terhadap hewan, misalnya dengan kerangka lima kebebasan (five freedoms) dan lima ranah (five domains) terhadap hewan. Keempat, warganet perlu bersikat proaktif dalam melaporkan dan memberi komentar yang sopan terhadap konten video yang mengeksploitasi hewan. Kelima, platform media sosial perlu menyediakan fitur pelaporan yang responsif dan efektif terhadap video yang melanggar aturan. Keenam, kolaborasi antarsektor diperlukan untuk menjalankan sistem pemantauan, edukasi, dan advokasi yang berkelanjutan.
Tim SafePaw berharap, melalui strategi perlindungan ini, kesadaran publik terhadap isu kesejahteraan hewan dapat tumbuh, dan mendorong para pembuat konten agar lebih bertanggung jawab dalam menghadirkan konten yang etis. Upaya edukasi publik terus dilakukan melalui akun Instagram @safepaw_pkmrsh. (*)
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar