Oleh: Ahmad Basir M.
Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen, Universitas Lamappapoleonro Soppeng
Koperasi Merah Putih lahir dari semangat kebersamaan dan kemandirian desa. Ia menjadi simbol gotong royong ekonomi rakyat, wadah bagi masyarakat kecil untuk tumbuh bersama dalam sistem perekonomian yang berkeadilan sosial.
Namun di balik idealisme itu, tersimpan sebuah paradoks yang nyata: pengurus koperasi dituntut untuk menumbuhkan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, serta mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia secara umum. Sementara itu, mereka sendiri—para pengurus Koperasi Desa Merah Putih—berjuang tanpa dukungan pendapatan selayaknya dan tanpa jaminan masa depan atas kinerjanya.
Secara konsep, koperasi seharusnya menjadi alat pemberdayaan ekonomi yang merata kepada seluruh masyarakat. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Para pengurus Koperasi Merah Putih tidak mendapat insentif, gaji tetap, perhatian khusus, atau jaminan masa depan yang cerah dari pemerintah.
Mereka justru dibebani tanggung jawab yang cukup besar untuk mengelola pinjaman modal yang ironisnya bukan hibah, melainkan utang yang harus dikembalikan beserta bunganya. Jika demikian, keuntungan apa yang bisa didapatkan oleh para pengurus Koperasi Desa Merah Putih yang berjumlah minimal lima orang itu?
Sementara itu, Kementerian Koperasi baru-baru ini telah merekrut sejumlah asisten bisnis dan tenaga PMO untuk mendampingi koperasi di desa Merah Putih. Mereka dikontrak selama tiga bulan dengan selisih gaji yang dibebankan oleh APBN, setara dengan golongan IV, lengkap dengan tunjangan transportasi dan komunikasi.
Tugas mereka adalah membantu penyusunan proposal dan manajemen bisnis koperasi. Namun setelah masa kontrak kerja tiga bulan berakhir, mereka tidak lagi memiliki tanggung jawab terhadap koperasi desa Merah Putih yang telah mereka dampingi.
Sebaliknya, pengurus dan anggota koperasi desa Merah Putih harus terus memikul beban dan tanggung jawab itu dalam kurun waktu yang panjang—tanpa upah, tanpa jaminan kesejahteraan, dan tanpa masa depan yang pasti dari pemerintah, bahkan sering kali tanpa pengakuan.
Namun mereka tetap dituntut bekerja maksimal, mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran, sementara di sisi lain mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menafkahi serta memikirkan masa depan keluarga (anak dan istri/suami).
Bagaimana mungkin koperasi menjadi sokoguru pertumbuhan ekonomi rakyat yang berkeadilan sosial jika para pengurusnya dibiarkan berdiri di atas pondasi yang rapuh?
Sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian khusus, pendapatan yang layak, serta jaminan masa depan bagi seluruh pengurus Koperasi Desa Merah Putih. Mereka bekerja di garis terdepan untuk mengembangkan usaha dengan dana pinjaman yang wajib dikembalikan beserta suku bunganya.
Tanpa dukungan nyata terhadap kesejahteraan dan masa depan mereka, semangat koperasi hanya akan menjadi slogan—bukan kekuatan ekonomi yang hidup dan berkeadilan.
Koperasi Merah Putih harus diberi ruang untuk benar-benar merah dan putih; merah dalam semangat perjuangan ekonomi rakyat, putih dalam kejujuran dan keadilan sistemnya.
Namun hal itu hanya bisa terwujud jika negara tidak hanya hadir saat peresmian dan pendampingan awal, tetapi juga dalam keberlanjutan perjuangan para pengurus yang sesungguhnya menjaga nyala api percepatan pertumbuhan perekonomian desa.(*)
Tidak ada komentar