H. Haidir bersama istri saat berlibur di Bali Penulis: Edy Basri
Namanya H. Haidir. Orang-orang terdekatnya biasa memanggilnya Haidir.
Orang Baranti mengenalnya bukan hanya sebagai pengusaha air minum Nyala Water, tapi juga sebagai orang yang paling sering muncul di setiap lapangan takraw — entah sebagai penonton, penyumbang hadiah, atau sekadar orang yang datang menyalami pemain satu per satu.
Haidir tidak terlihat seperti pengusaha. Tidak dengan jas, tidak dengan gaya pejabat.
Ia lebih sering datang dengan kemeja atau kaus oblong sederhana, menepuk bahu orang, tertawa lepas.
Kalau anak-anak memanggil, ia berhenti. Kalau orang tua bercerita, ia dengarkan.
Itu sebabnya, ketika ia mengumumkan rencana “Nyala Water Cup I 2026”, warga Baranti langsung percaya. Mereka tahu, kalau Haidir sudah bilang “ayo main takraw”, berarti itu akan terjadi.
Turnamen itu akan digelar Januari tahun depan.
“Kita tunggu selesai SEA Games dulu,” katanya, “biar pemain nasional bisa datang semua.”
Ia mengatakannya di Baranti, dengan nada pelan tapi pasti
Bagi Haidir, takraw bukan urusan nostalgia. Ini soal nyawa olahraga rakyat Sidrap yang lama meredup.
“Dulu Sidrap punya nama. Sekarang waktunya kita hidupkan lagi,” ujarnya.
Rencana itu cepat menyebar. Dari warung kopi ke grup WhatsApp. Dari bekas pemain ke pelatih muda. Mantan Ketua PSTI Sidrap H. Zulkifli Zain langsung merespons.
Begitu juga Ketua PB PSTI H. Surianto dan Ketua PSTI Sidrap Sudarmin Baba. Semua siap turun tangan.
Haidir sendiri menyiapkan sekitar seratus orang panitia. “Kita kerja sama. Tidak ada yang superman di sini,” katanya singkat.
Di rumahnya, tumpukan galon air dan bola rotan sering terlihat berdampingan. Aneh? Tidak bagi orang Baranti.
“Dari dulu memang begitu,” kata seorang karyawan lamanya. “Bos suka olahraga. Kalau pagi, takraw. Siang baru urus air minum.”
Haidir memang begitu. Ia tidak bisa diam. Kalau tidak di lapangan, ia bisa ditemukan di acara sosial. Kadang ikut bersih-bersih masjid. Kadang ikut bawa bantuan ke warga.
Ia tidak mau tampil di depan kamera. Tapi selalu berada di balik layar, memastikan acara jalan.
“Kalau semua sibuk bicara, siapa yang kerja?” begitu jawabnya kalau dipaksa berpose.
Turnamen ini ia beri nama Nyala Water Cup. Nama itu sederhana. Tapi mengandung dua hal yang ia pegang: kerja dan semangat.
Nyala, bagi Haidir, berarti hidup. Bergerak. Tidak padam.
Baranti memang kecil.
Tapi dari sinilah banyak hal dimulai. Dulu, pemain-pemain hebat Sidrap lahir dari lapangan kecil di kampung ini: Kadir dari Baranti, Syaharuddin dari Panca Lautang.
Sekarang, Haidir ingin anak-anak baru tumbuh lagi dari tempat yang sama.
Ia tidak mencari nama. Tidak mengejar panggung. Ia hanya ingin bola rotan itu berputar lagi, dan orang-orang Sidrap datang menonton dengan bangga.
Sore itu, di lapangan Baranti, anak-anak berlatih. Beberapa menendang bola tinggi-tinggi, tertawa keras ketika gagal.
Haidir berdiri di pinggir lapangan. Tangannya bersedekap.
“Kalau mereka bahagia main begini, itu sudah cukup,” katanya.
Lalu ia melangkah pergi.
Tanpa seremoni. Tanpa tepuk tangan.
Seperti biasa, ia hanya meninggalkan jejak diam-diam — tapi nyalanya tetap hidup. (*)
Tidak ada komentar