Pesan Bupati Sidrap Untuk Syaqirah: Tetap jadi Pribadi yang Baik, Aja’ Mulisu, Ko de’mita Deceng
Oleh: Edy Basri
Di Sidrap, ada malam yang membuat waktu seperti berhenti. Orang-orang berbondong dari barat dan timur, berjalan dengan sandal seadanya, sebagian membawa anak kecil yang bersandar di bahu ayahnya, sebagian lain menenteng kursi lipat dari rumah agar bisa duduk menunggu sejak magrib. Mereka tahu panggung akan baru menyala beberapa jam kemudian, tetapi tidak seorang pun ingin datang terlambat.
Di Monumen Ganggawa (Mogan), pada Selasa malam, 25 November 2025 itu, lampu-lampu jalan seolah kalah terang dari sorot kamera para penonton yang memadati setiap sudut. Dari depan panggung sampai ke badan jalan poros Makassar–Palopo, gelombang manusia mengalir seperti air yang menemukan wadahnya. Mereka datang bukan hanya untuk hiburan. Mereka datang untuk seorang gadis—kecil tubuhnya, besar semangatnya: A. Syaqirah.
Ketika namanya dipanggil, sorak itu pecah, seperti suara kaca yang berjatuhan dari langit. Ada air mata di pipi seorang ibu di barisan depan. Ada guru-guru yang menggenggam tangan sesama guru, mungkin mengenang murid-murid yang dulu mereka ajar, mungkin berharap Syaqirah menjadi pelipur untuk profesi yang sering kali bekerja dalam sunyi.
Malam itu, Syaqirah menyanyi bukan untuk juara, bukan untuk trending, dan bukan untuk mengejar sorotan panggung yang sering membuat seseorang lupa daratan. Ia berdiri di atas panggung sederhana—namun terasa megah oleh cinta yang berdiri di sekelilingnya—untuk mempersembahkan lagu-lagu kepada para guru Sidrap.
Guru yang mengangkat anak-anak Sidrap dari keterbatasan.
Guru yang memeluk kelas-kelas panas tanpa kipas.
Guru yang menyimpan luka dan letih, tetapi tetap datang setiap pagi.
Itu yang membuat suasana begitu haru. Tidak ada tata panggung raksasa. Tidak ada special effect. Tidak ada band besar. Tetapi ada satu hal yang jarang dimiliki oleh banyak pertunjukan besar: ketulusan.
Setelah tampil, ia turun dari panggung—bukan berlari, bukan menunduk kedinginan, tetapi berjalan pelan dengan kedua tangannya memegang pinggir bajunya. Di sampingnya, seperti malam-malam sebelumnya, Ilham Junaedy (IJ)—orang yang sejak awal menjadi penjaga langkahnya—berjalan sambil sesekali memutar badan, memastikan jalan aman.
IJ, begitu ia akrab disapa, bukan manajer artis. Ia bukan agen bakat. Ia bukan orang yang hidup di balik panggung TV. Tetapi ia punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh banyak orang di dunia hiburan: kesetiaan.
Di sisi lain, ada Hj Wahyuni, sosok perempuan yang dalam diamnya mampu mengatur ritme batin orang-orang di sekitarnya. Dan ada pula Bunda Kenzo (A. Bunga), figur yang sejak awal memberi energi tenang bagi gadis bernama Syaqirah itu.
Mereka berjalan bersama kembali menuju Rumah Jabatan Bupati Sidrap. Jalanan sudah agak lengang, tetapi suasana batin Syaqirah belum benar-benar turun. Sorak penonton tadi masih melekat di telinganya. Adrenalin panggung masih berdesir di uratnya. Namun yang paling melekat adalah pelukan para guru yang naik ke panggung setelah pertunjukan. Ada yang memeluk sambil menangis. Ada yang mendoakannya panjang umur. Ada yang berkata pelan: “Nak, jangan berubah.”

Seorang gadis 14 tahun. Tetapi malam itu ia belajar sesuatu yang jauh lebih besar dari teknik vokal: ia belajar bahwa cinta besar selalu datang dari orang-orang yang tidak ingin disebut pahlawan.
Ketika mobil berhenti di halaman Rumah Jabatan Bupati Sidrap, udara malam sudah turun drastis. Namun suasana rujab hangat seperti rumah besar yang menampung cerita panjang. Bupati Sidrap menunggu di ruang tengah dengan baju sederhana, tidak ada jarak, tidak ada formalitas berlebihan. Seolah ia menunggu seorang anak pulang dari lomba kecil di sekolah.
Saat Syaqirah duduk, Bupati tidak langsung bicara. Ia menatap gadis itu dengan senyum yang mengandung harapan. Lalu ia mulai menyampaikan sesuatu yang akan menjadi inti malam itu—inti dari cerita panjang tentang perjalanan seorang anak daerah menuju dunia yang keras bernama industri hiburan.
“Syaqirah, kamu ini sudah jadi artis publik. Suatu saat kariermu besar. Tapi jangan pernah sombong. Jangan lupa orang-orang yang dulu membantumu.”
Kalimat itu sederhana. Tetapi seperti pedang yang disarungkan perlahan, ia menyimpan kedalaman.
Tidak ada komentar