Edy BasriOleh — Edy Basri
Pemred Katasulsel.com
Saat Indonesia resmi mengesahkan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) dan menjadikannya berlaku mulai 1 Januari 2026, sebenarnya yang terjadi bukan sekadar revisi hukum. Tapi, kita sedang menyaksikan pertarungan dua zaman: zaman kolonial yang tertinggal dan zaman modern yang menuntut kepastian, keadilan, dan identitas nasional.
Bagi banyak orang, perdebatan KUHP hanya terlihat sebatas pasal kontroversial. Padahal jika dilihat dari kacamata struktur, filosofi, dan tujuan pemidanaan, KUHP baru dan KUHP lama seperti dua dunia yang sama sekali berbeda.

KUHP lama adalah produk Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda. Disusun pada 1881, mulai berlaku di Hindia Belanda 1918, dan diwarisi Indonesia setelah merdeka.
Tujuan awalnya bukan membangun keadilan,
tetapi mengatur dan mengendalikan pribumi kolonial.
Beberapa ciri khas KUHP lama:

Dalam konteks saat ini, KUHP lama ibarat peta abad 19 yang dipaksa mengatur lalu lintas kendaraan era 2025.
KUHP baru membawa 37 Bab dan 624 pasal, jauh lebih lengkap dan lebih sesuai dengan kehidupan kontemporer.
Yang paling penting: KUHP baru lahir dari bangsa sendiri.
Ia merangkum filosofi keadilan, sosial, dan budaya Indonesia.
Beberapa ciri khas KUHP baru:
Inilah perbedaan paling mendasar:
Negara mengontrol → penghukuman adalah cara menjaga ketertiban.
Warga negara adalah objek.
Negara melindungi → keadilan sosial lebih penting daripada sekadar memenjarakan.
Warga negara adalah subjek hukum.
Perbedaan ini terlihat jelas pada banyak pasal yang diubah menjadi delik aduan.
Hal-hal yang dulu dianggap “mengganggu ketertiban kolonial” kini ditempatkan sebagai urusan personal yang hanya negara tangani jika diminta korban.
Ini penanda jelas bahwa masyarakat Indonesia kini hidup dalam dunia yang lebih kompleks, terhubung, dan rentan dibanding satu abad lalu.
Banyak kritik menyebut KUHP baru “mengurusi moral warga”.
Tapi kritik itu sering lupa bahwa:
Di sisi lain, KUHP baru justru lebih melindungi Hak Asasi, misalnya:
Hal-hal ini tidak pernah disentuh KUHP kolonial.
Jika KUHP lama tidak bisa menjawab persoalan seperti:
maka KUHP baru menyiapkan instrumen lengkap untuk menjawab semuanya.
Ini bukan sekadar pembaruan hukum,
tetapi penyesuaian besar-besaran terhadap realitas sosial dan teknologi.
Di bagian akhir tulisan ini, saya ingin memberikan perbandingan antara KUHP lama dan baru seolah menggambarkan satu kalimat:
KUHP lama adalah luka sejarah.
KUHP baru adalah usaha penyembuhan.
Saat KUHP baru diberlakukan 1 Januari 2026, itu bukan hanya pergantian buku hukum.
Itu adalah deklarasi bahwa Indonesia akhirnya berani menulis aturan permainannya sendiri.
Tidak sempurna — ya.
Masih perlu disosialisasikan — jelas.
Akan menimbulkan debat — pasti.
Tetapi satu hal tidak bisa dibantah:
Indonesia akhirnya tidak lagi hidup dengan hukum pidana kolonial.
Kita hidup dengan hukum buatan bangsa sendiri.
Dan itu, bagi saya sebagai jurnalis dan akademisi, adalah permulaan dari sejarah baru.
(*)

Media Portal Berita Berbadan Hukum
PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,
Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)
Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986
Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )


Tidak ada komentar