Wanita Hebat dari Enrekang, Namanya Sulfianingsih (Bagian-1)
Oleh: Edy Basri
SAYA melihatnya dari kejauhan.
Tidak mencolok.
Tidak pula berusaha menonjol.
Di tengah ballroom Hotel Claro Makassar yang penuh cahaya, pakaian resmi, dan wajah-wajah penting, perempuan itu berdiri biasa saja. Seperti tamu undangan lain. Bahkan lebih sederhana.
Ia hanya mengenakan kebaya biasa, serba hijau.
Namanya disebut; Sulfianingsih, akrab dipanggil Upi
Ia melangkah ke depan. Pelan. Tenang. Seolah ini bukan pertama kalinya ia berjalan menuju sesuatu yang besar. Bedanya, yang ini tanpa lumpur. Tanpa hujan. Tanpa bau tanah basah.
Hari itu, Senin, 22 Desember 2025. Puncak Peringatan Hari Ibu ke-79.
Ia menerima penghargaan Perempuan Inspiratif Sulawesi Selatan.
Tepuk tangan panjang.
Saya justru membayangkan hal lain.
Medan yang licin.
Suara tangis.
Logistik yang kurang.
Dan keputusan-keputusan cepat yang sering harus diambil tanpa rapat.
Sulfianingsih berasal dari Enrekang.
Kabupaten yang tidak pernah berisik, tapi selalu keras pada warganya. Pegunungan. Jalan berliku. Cuaca yang tidak bisa ditebak. Dan masyarakat yang terbiasa saling menolong karena tahu: jika hari ini bukan kita, besok bisa jadi kita yang ditolong.
Dari sanalah ia datang.
Bukan dari kampus aktivisme.
Bukan dari organisasi elite.
Bukan pula dari keluarga pejabat.
Ia datang dari kehidupan sehari-hari yang mengajarkan satu hal sederhana: jangan menutup mata saat orang lain kesulitan.
Sulfianingsih dikenal sebagai relawan.
Relawan tanggap bencana.
Relawan Baznas.
Relawan sosial—jenis relawan yang tidak banyak muncul di baliho.
Ia tidak menunggu dipanggil. Tidak menunggu SK. Tidak menunggu liputan.
Begitu kabar bencana terdengar, ia berangkat.
Kadang sendiri. Kadang bersama tim. Kadang tanpa kepastian apa yang akan dihadapi.
Medan bencana tidak pernah ramah.
Tidak ada komentar