Example 650x100

Makasar, Katasulsel.com — Seperti benang kusut yang mulai terurai, dana bergulir untuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) di Kabupaten Soppeng kini menjadi sorotan tajam.

Skandal ini menyeret 71 Gapoktan yang tengah diperiksa terkait pengelolaan dana sebesar Rp 100 juta per kelompok dari APBN tahun anggaran 2009/2010.

Apa yang seharusnya menjadi bahan bakar produktivitas petani, kini berubah menjadi misteri ke mana dana itu mengalir.

Example 300x500

Roda ekonomi yang seharusnya berputar kini tersendat, bahkan ada yang hilang jejaknya.

Aktivis pertanian dan anti-korupsi di Makassar pun, angkat bicara.

Ketua Jaringan Advokasi Petani, Ridwan Saputra, menyebut kasus ini sebagai alarm bahaya bagi transparansi dana bantuan pemerintah.

“Kita harus memastikan bahwa dana ini tidak hanya sekadar laporan di atas kertas. Harus ada pengawasan ketat, agar petani tidak sekadar jadi korban kebijakan tanpa kendali,” ujarnya, Minggu, (2/3).

Aktivis lainnya, Muhammad Alwi dari Forum Transparansi Publik, menegaskan pentingnya audit menyeluruh.

“Banyak dari Gapoktan ini yang tak pernah menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT). Ini indikator awal adanya penyalahgunaan. Jika benar, maka ini bukan sekadar kelalaian, tetapi kejahatan sistematis,” tegasnya.

Laksana ladang yang tak lagi digarap, dana yang seharusnya menjadi pupuk bagi pertanian justru menguap entah ke mana.

Bukannya menjadi penopang utama keberlanjutan usaha tani, dana ini justru tampak seperti air yang meresap ke tanah tanpa jejak.

Diketahi, polisi di Polres Soppeng telah turun tangan.

Kasat Reskrim Polres Soppeng, Iptu Nurman Matasa SH MH di beberapa media juga telah membenarkan bahwa penyelidikan tengah berlangsung.
“Kami sedang dalam proses lidik, ke-71 Gapoktan ini sedang dimintai keterangan terkait pengelolaan dana bergulir sebesar Rp 100 juta per Gapoktan yang sumber dananya berasal dari APBN,” ungkapnya di salah satu media lokal belum lama ini.

Namun, aktivis mengingatkan agar proses hukum ini berjalan bersih dan independen.

“Jangan sampai penyidik ‘masuk angin’. Kasus ini menyangkut nasib banyak petani, jadi kita ingin ada transparansi dan penegakan hukum yang tegas,” kata Ridwan Saputra.

Dana bergulir seharusnya bersifat regeneratif. Namun, dalam banyak kasus, sistem ini justru berubah menjadi jebakan.

Tanpa transparansi dan pengawasan ketat, dana yang seharusnya berfungsi sebagai penggerak ekonomi justru bisa menjadi beban yang menyeret petani ke jurang ketidakpastian.

Pemeriksaan ini bisa menjadi awal pembongkaran besar-besaran. Apakah ada unsur kesengajaan? Apakah dana ini dialihkan ke pihak lain? Ataukah sistem administrasi yang buruk menjadi penyebab stagnasi dana tersebut?

Petani di Soppeng tentu menanti jawaban. Mereka adalah pihak yang paling terdampak dari kebijakan ini. Jika dana ini benar-benar disalahgunakan, maka harapan mereka untuk mendapatkan dukungan semakin menipis.

Di sisi lain, jika penyelidikan ini berujung pada perbaikan sistem, maka ada secercah harapan bahwa dana bergulir akan kembali menjadi tumpuan bagi petani, bukan sekadar angka dalam laporan yang tak pernah berujung nyata.

Ladang-ladang butuh kepastian. Rantai yang terputus harus disambung kembali. Dan dana yang seharusnya bergulir, sudah saatnya kembali ke jalurnya.(*)