Example 650x100

Ini adalah kisah nyata. Dia ingin dituangkan dalam kisah. Tapi dia minta nama dan alamatnya disamarkan. Sungguh haru. Sedih, sedih sekali…

Oleh: Edy Basri (pemred katasulsel.com)

MALAM itu, Rahmat (Maaf, nama ini hanya samaran, red), masih di teras rumah.

Sendiri. Menatap langit yang tak memberinya jawaban.

Di ujung gang (lorong) yang sempit, rumah-rumah lain mulai sibuk menyambut lebaran. Cahaya lampu lebih terang dari biasanya.

Example 300x500

Anak-anak berlari membawa baju baru mereka, riang. Ayah-ayah pulang dengan kantong belanja, ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan ketupat.

Tapi di rumah Rahmat?

Tak ada persiapan membuat opor. Tak ada plastik berisi baju baru. Tak ada suara riang anak-anak.

Hanya ada sunyi.

Dan, sebongkah rasa bersalah yang makin menekan dadanya.

Rahmat menunduk. Tangannya gemetar menggenggam uang di sakunya. Uang yang ia kumpulkan seminggu ini.

Seratus lima puluh ribu rupiah.

Itu pun bukan untuk baju baru. Bukan untuk kue lebaran. Bukan untuk membuat anak-anaknya tersenyum.

Itu untuk bayar utang ke warung sebelah.

Istrinya, Siti, masih di dalam. Duduk bersila di tikar yang sudah mulai usang. Matanya menerawang. Pikirannya penuh.

Bukan tentang baju baru.

Bukan tentang kue kering yang kosong di meja.

Tapi tentang zakat fitrah.

Bagaimana mungkin mereka yang hampir tak punya apa-apa, tetap harus memberi?

“Zakat fitrah itu wajib, Pak,” bisik Siti tadi siang. “Tapi kita sendiri tak punya beras cukup.”

Rahmat hanya diam.

Ia tahu itu benar.

Tapi ia juga tahu, bahkan beras di dapur mereka sudah dihitung dengan napas panjang.

Anak-anaknya, tiga orang. Tak ada yang bertanya soal baju baru. Tak ada yang merengek minta uang jajan. Mereka hanya diam.

Sabar.

Sabar.

Dan sabar.

Bersambung…