Satu hal yang tidak dimiliki wartawan lagi adalah waktu. Seolah-olah, dia harus jadi yang tercepat memposting berita, padahal dia bukan pembalap.

Laporan: Edy Basri

JURNALISME hari ini, berbeda dengan jurnalisme masa lampau. Disrupsi media telah mengubah segalanya.

Teknologi sudah datang. Inovasi-inovasinya perlahan menggantikan posisi jurnalisme konvensional. Kebiasan mencari informasi dengan membaca koran, majalah ataupun tabloid, kini telah tergantikan oleh bacaan portal berita (website).

Tapi satu hal yang ingin saya katakan, jurnalisme konvensional tetap ada. Dia akan tetap eksis dengan pembaca-pembaca setianya sepanjang pengelolanya punya skill. Mereka harus terus berinovasi mengimbangi gempuran teknologi

Di era digital ini, tak sedikit pakar membersamai jurnalisme digital idem dengan jurnalisme internet atau online. Peradaban ini menandai perkembangan jurnalisme dari masa ke masa, dia berkembang sedemikian cepatnya.

Parahnya, perkembangan jurnalisme digital, juga diikuti oleh perilaku modern masyarakat. Dulu mereka suka membaca lewat kertas atau mendengar berita lewat radio, maka sekarang ini, masyarakat tinggal pencet-pencet handphone lalu semua berita yang diinginkan akan muncul secara cepat.

Maka menurut saya, tidak ada pilihan lain, jurnalis harus beradaptasi menyesuaikan dirinya, pengetahuan teknologinya harus di asah. Jika tidak, maka bersiapkan tersingkir.

Kembali ke pembahasan awal mengenai jurnalis digital. Jujur, satu yang membuat saya kuatir adalah hilangnya waktu oleh seorang jurnalis.

Hal ini juga pernah saya terangkan saat diundang panitia membawakan materi di acara pendidikan dan pelatihan jurnalistik yang di adakan Dsdikbud Kabupaten Sidrap di Aula Kantor Kemenag Sidrap, belum lama ini.

Apa penekanan saya, bahwa sekarang ini kebanyAkan jurnalis sudah kehilangan waktu.

Sekarang ini, hampir semua wartawan sudah tak punya lagi cukup waktu . Alih-alih terjun ke lokasi, melalukan wawancara atau konfirmasi ke sumber berita saja sudah tidak punya waktu.

Ada fenomena, berita cukup diproduksi di balik meja cafe & resto. Daripada capek-capek turun ke lokasi dan wawancara dengan sumber berita, mending langsung posting lemparan berita dari kawan

Hahahaa..ini yang parah. Tapi tidak semua begitu yah. Masih ada banyak jurnalis yang tetap profesional dan tidak tergoda oleh ketergesa-gesaan memposting berita di website.

Lalu, apa sebenarnya jurnalisme itu?

Jurnalisme adalah tindakan mengumpulkan, menilai, menciptakan, dan menyajikan berita dan informasi. Ini juga merupakan produk dari kegiatan ini.

Jurnalisme adalah produk dari setiap surat kabar yang Anda baca, setiap stasiun berita yang Anda tonton, dan setiap artikel berita yang Anda baca secara online di situs berita atau media siber.

Jurnalisme dimaksudkan untuk menempatkan kepentingan publik di atas segalanya dan menggunakan metode khusus untuk mengumpulkan dan menilai informasi.

Dengan kata lain, jurnalisme dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi masyarakat, dan jurnalis harus secara rutin memeriksa apa yang mereka laporkan untuk memastikan informasi tersebut diverifikasi dan akurat.

Bahkan dengan munculnya internet, web-web berita, media sosial, dan smartphone, ada sesuatu yang hilang dari jurnalisme saat ini.

Kita lebih terhubung dengan berita yang pernah kita kunjungi. Perusahaan berita memiliki jurnalis yang bekerja sepanjang waktu yang dapat mendorong kita untuk mendapatkan berita saat itu terjadi, tidak peduli kapan itu terjadi.

Kita lebih terinformasi daripada sebelumnya, dan kita memiliki pilihan tak terbatas di mana kita ingin mengonsumsi berita.

Jadi, tantangan jurnalis kita hari ini?, jawabannya tentu sederhana adalah waktu.

Iya, satu hal yang tidak dimiliki wartawan lagi adalah waktu. Mereka harus menjadi yang pertama.

Mereka harus cepat. Mereka tidak punya waktu lagi untuk tenggelam dalam cerita mereka.

Nyaris, mereka tidak punya waktu untuk belajar dan merenungkannya pada cerita mereka.

Mereka mengandalkan kutipan dari pakar lain untuk membentuk cerita mereka.

Jurnalisme investigasi sejati adalah seni yang perlahan memudar. Salah satu alasan utamanya adalah uangnya sudah tidak ada lagi.

Melakukan bagian investigasi nyata membutuhkan banyak waktu, yang pada gilirannya, juga harus mengeluarkan isi kantong.

Pendapatan iklan yang mereka peroleh untuk cerita kemungkinan akan menjadi sebagian kecil dari biaya untuk memproduksinya.

Karena itu, jurnalisme investigasi digantikan oleh 5 hingga 10 posting blog atau web sehari yang tidak akan pernah memiliki substansi sebanyak karya investigasi yang sebenarnya. (*)

Dapatkan berita terbaru di Katasulsel.com