Katasulsel.com, Makassar — Sejumlah dukungan regulasi dan penganggaran yang memadai telah menjadikan pertanian di Sulawesi Selatan bisa tetap eksis dan bahkan surplus untuk berbagai komoditas pangan yang dihasilkan.

Sekretaris Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Muhlis Mori di Makassar, Kamis, saat menerima rombongan Humas Sekretariat DPRD Bali bersama Forum Wartawan DPRD Bali menyampaikan, untuk beras saja bisa surplus hingga 2,1 juta ton per tahun.

“Meskipun dari jumlah produksi, Sulsel itu menduduki posisi nomor 4 di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, namun dari sisi surplus  beras justru nomor satu,” kata Muhlis, dikutip dari laman bali.antaranews.com

Menurut dia, ada tiga pilar yang mendukung Sulsel bisa mewujudkan ketahanan pangan dan bahkan bisa mampu memenuhi kebutuhan sejumlah provinsi lainnya di Tanah Air.

Pertama, karena dukungan sumber daya lahan, yang untuk luasan lahan baku sawah 654.818 hektare. 

Kedua, didukung sumber daya petani, yakni dari sebanyak 9,5 juta penduduk, 3,5 juta diantaranya itu merupakan petani dan sudah dibekali pelatihan. Pihaknya juga secara khusus memberikan dorongan kepada para petani muda atau petani milenial agar mencintai

“Ketiga, karena memang sangat didukung oleh pemerintah provinsi dan DPRD untuk anggaran sektor pertanian,” ujar Muhlis Mori.

Hasnawaty Habibie, Fungsional Analisis Ketahanan Pangan dari  Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sulsel menambahkan, daerah setempat juga memiliki program Pekarangan Pangan Lestari, program Pangan Keluarga, Toko Tani Indonesia (Pasar Mitra Tani) dan sebagainya.

Ada pula Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang khusus menangani sertifikasi jaminan mutu produk sehingga produk pertanian yang ada sudah dijamin keamanannya, demikian juga terkait sertifikasi produk organik.

Selain itu, didukung Instruksi Gubernur yang meminta kepada hotel-hotel dan restoran agar bisa memanfaatkan pangan lokal, yang juga ditindaklanjuti di kabupaten/kota.

Setiap tahunnya, Sulsel surplus beras hingga lebih dari 2,1 juta ton. Dari rata-ratah gabah kering giling yang dihasilkan pertahun 5,1 juta ton atau setara 3,2 juta beras, yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sebesar 1,1 juta ton.

“Beras kami di Sulsel rata-rata terdistribusi 33 provinsi karena memang atas permintaan pedagang, karena beras kami selalu baru. Beras dari Sulsel yang selalu baru sering dioplos,” ujarnya.

Mengapa beras bisa selalu baru, karena Sulsel didukung tiga zona musim, ada sektor barat, sektor timur dan sektor peralihan yang musimnya tidak bersamaan.

Selain beras, jagung juga suprlus hingga sekitar 800 ribu ton pertahun. Dari produksi jagung 2,3 juta ton, terserap untuk industri dan masyarakat 1,4 juta ton. Demikian pula cabai rawit surplus 5.000 ton.

Sulsel juga didukung sejumlah komoditas perkebunan unggulan yakni kakao, kopi, cengkih, dan lada. Untuk luasan lahan kakao 195 ribu hektare, kopi 78 ribu hektare, dan cengkih  65 ribu hektare lebih.

Komoditas pertanian di Sulsel bisa maju karena untuk hilirisasinya tidak masalah. Contoh untuk beras itu sudah ada pasarnya hingga di 33 provinsi. Demikian 11 provinsi di Indonesia Timur yang tidak surplus pangannya juga bergantung pada Sulsel

Selanjutnya, masyarakat Sulsel memang budayanya menanam padi dan program ketahanan pangan juga sudah mulai dari lingkungan rumah tangga.

Inovasi lainnya, Provinsi Sulsel juga memiliki program Mandiri Benih dengan membuat benih padi unggul maupun benih komoditas yang lainnya.

Sementara itu, Sekretaris DPRD Provinsi Bali Gede Suralaga yang memimpin rombongan berharap strategi pengembangan pertanian yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan didukung penuh masyarakatnya ini, juga bisa menjadi masukan bagi Provinsi Bali dalam mengembangkan pertanian.

“Di Sulawesi Selatan sangat fokus mengembangkan pertanian karena selain didukung sumber daya lahan, juga terus dikembangkan sumber daya petaninya. Jadi, bagaimana membuat petani modern yang betul-betul mampu mengembangkan yang terbaik dan produktif,” ujar Suralaga.

Apalagi, kata Suralaga, dengan Bali tergantung pada pariwisata,  dampak pandemi COVID-19 telah menyebabkan Bali terkontraksi paling dalam dibandingkan 33 provinsi lainnya di Tanah Air, yakni hingga 9,33 persen pada tahun 2020.

Ketua Forum Wartawan DPRD Bali I Made Arnyana mengatakan saat pandemi COVID-19, banyak pekerja pariwisata di Bali yang harus kembali pulang kampung untuk menekuni pertanian.

Selain itu, untuk kebutuhan hotel dan restoran di Bali masih banyak produk pertanian yang didatangkan dari luar negeri karena produk lokal tidak mampu menyediakan secara berkesinambungan.

“Jadi, melalui kesempatan ini kami ingin mengetahui strategi yang dilakukan Sulawesi Selatan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan berhasil mewujudkan ketahanan pangan,” kata wartawan Warta Bali ini.**

Dapatkan berita terbaru di Katasulsel.com