Oleh : Michael H. Hadylaya (Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi)

JIKA yang menjadi concern adalah maraknya ASN yang sontak menjadi komisaris, seharusnya tidak ada hubungannya juga dengan sekadar mempermasalahkan definisi komisaris independen. ASN tetap dapat menduduki komisaris tanpa ada embel-embel independennya

Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) kembali menghadapi uji materiil di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini materi UU PT yang dipersoalkan adalah terkait keberadaan Komisaris Independen.

Pangkal persoalannya adalah maraknya aparatur sipil negara (ASN) yang menduduki jabatan dalam sebuah PT dengan alasan sebagai komisaris independen. Dalam tataran normatif, keberadaan komisaris independen dalam sebuah perseroan terbatas di Indonesia memang bukan hal baru. Mereka diperlukan, bahkan dalam beberapa konteks diwajibkan ada dalam sebuah perseroan terbatas, karena pentingnya persoalan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).

Di negara berkembang, masalah GCG ini sangat penting karena biasanya tidak terdapat infrastruktur yang kuat dan long established yang terbiasa mengurusi tata kelola (McGee, 2009:3). Dalam hal ini, konsep komisaris independen ada untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja direksi. Dalam prakteknya, bisa saja dewan komisaris dan direksi yang notabene sama-sama ditunjuk oleh pemegang saham dalam suatu rapat umum pemegang saham (RUPS) tidak menjalankan fiduciary duty secara baik. Penyebabnya bermacam faktor.
Loyalitas kepada pemegang saham mayoritas yang mendudukkan sang komisaris bisa saja mengaburkan fungsi komisaris. Jadi, untuk konteks ini konstruksi UU PT yang mengenal adanya komisaris independen merupakan sebuah hal yang sangat baik.

Namun, keberadaan komisaris independen dalam sebuah PT tertutup, yaitu non listed company, bukan sebuah kewajiban.

Pasal 120 ayat (1) UU PT menggunakan kata ‘dapat’, sehingga keberadaan komisaris independen sebetulnya fakultatif. Hal ini berbeda dengan perusahaan publik (listed company) yang diatur dalam Peraturan OJK No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik (POJK 33/2014). Pengaturan UU PT terkait komisaris independen sebetulnya sudah cukup tepat dari sisi konseptual pengertian dan apa yang menjadi persyaratannya. Pasal 120 ayat (2) UU PT sudah mengatur bahwa komisaris independen sebagai pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris lainnya.

Bahkan, dalam penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT sudah menjabarkan nature dari komisaris independen, yaitu tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi dan/atau anggota dewan Komisaris lainnya. Jadi, tidak ada perosalan konstitusional di sana. Jika yang menjadi concern adalah maraknya ASN yang sontak menjadi komisaris, seharusnya tidak ada hubungannya juga dengan sekadar mempermasalahkan definisi komisaris independen. ASN tetap dapat menduduki komisaris tanpa ada embel-embel independennya.

Seharusnya, yang diuji materiil sampai ke MK adalah UU BUMN atau UU ASN sehingga aparatur sipil yang ada benar-benar secara murni dan konsekuen menjalankan peran luhurnya sebagai abdi negara. Namun, UU PT bukan tanpa catatan. Banyak terminologinya tidak konsisten atau bahkan dalam beberapa hal dianggap cukup jelas padahal perlu dielaborasikan secara lebih detail. Bahkan bisa membutuhkan aturan-aturan spesifik tersendiri.

Dalam konteks komisaris independen misalnya, adalah lebih tepat jika yang menjadi fokus adalah mengenai definisi afiliasi dan pemegang saham utama sebagaimana digunakan dalam Pasal 120 ayat (2) UU PT. Dua terminologi ini tidak memiliki penjabaran dalam UU PT sehingga rentan menimbulkan persoalan yuridis.

Soal penjelasan afiliasi, misalnya, hanya terkait dengan penilaian setoran saham dalam 34 ayat (2) UU PT yang perlu dilakukan oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan perseroan. Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU PT memang menjelaskan kriteria tidak terafiliasi tersebut. Namun, kriteria tidak terafiliasi dalam Pasal 34 ayat (2) UU PT tidak bisa dipakai secara umum untuk semua masalah yang ada terkait pengertian afiliasi karena ia hanya berada dalam penjelasan khusus untuk Pasal 34 ayat (2) UU PT.

Selain itu, penjelasan undang-undang tidak sepatutnya membuat norma baru. Pun dengan pemegang saham utama, seperti apa mereka? Apakah identik dengan pemegang saham mayoritas atau dengan pemegang saham pengendali, atau berbeda sama sekali? Tidak dibahas dalam UU PT. Memang ada aturan lain yang mengatur soal definisi ini, seperti dalam POJK Nomor 42 /POJK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan, misalnya (POJK 42/2020).

Tapi, POJK 42/2020 hanya berlaku bagi perseroan terbatas yang go public. Artinya bagi perseroan terbatas yang tertutup (private company), definisi afiliasi dan pemegang saham utama itu masih remang-remang. Jika tujuan kita adalah perbaikan tata kelola di suatu perseroan terbatas dan memperbaiki konstruksi perundang-undangannya yang ada saat ini, salah kaprah jika uji materiil yang dilakukan terhadap UU PT. Kita lebih butuh amendemen UU PT atau setidak-tidaknya adanya peraturan pemerintah untuk mengatur kekosongan hukum yang masih tersisa dalam UU PT dengan materi yang jelas dan dapat diaplikasikan di lapangan, dan tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.

Artikel ini telah tayang di kabar24.bisnis.com
klik selengkapnya disini : https://kabar24.bisnis.com/read/20211001/16/1449123/opini-uji-materiil-uu-pt-dan-komisaris-independen

Dapatkan berita terbaru di Katasulsel.com