Oleh : Gaudensius Suhardi
BENAR kata orang bijak bahwa kebenaran akan selalu mencari jalan untuk mengungkapkan dirinya. Jalan etik dan hukum mampu mengungkapkan kebenaran tidak ada penyelundupan pasal yang mengatur tes wawasan kebangsaan (TWK).
Penyelundupan pasal TWK dituduhkan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal itu disebut-sebut diselundupkan ke dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara.
Ada dua jalan ditempuh untuk membuktikan kebenaran tuduhan itu. Pertama lewat jalur etik. Semua pemimpin KPK diadukan ke Dewan Pengawas KPK dengan sangkaan pelanggaran etik. Kedua, menempuh jalur hukum ke Mahkamah Agung untuk melakukan uji materi Perkom 1/2021. Lewat dua jalan itu kebenaran menyatakan dirinya dan dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar
Dewan Pengawas KPK menghentikan pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik pimpinan dalam pelaksanaan TWK. Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean pada 23 Juli menyatakan seluruh dugaan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan pimpinan KPK tidaklah cukup bukti sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke sidang etik. Selang 48 hari kemudian, tepatnya 9 September, giliran Mahkamah Agung menolak uji materi Perkom 1/2021. Lewat Putusan Nomor 26 P/HUM/2021, MA menyatakan Perkom 1/2021 tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya sehingga tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan MA itu keluar setelah sembilan hari sebelumnya, pada 31 Agustus, Mahkamah Konstitusi memutuskan TWK bagi pegawai KPK sah dan konstitusional.
Dua jalur kebenaran itu, etik dan hukum, lagi-lagi membuktikan kebenaran tidak bisa didapati lewat mobilisasi opini publik. Marian D Irish dan James W Prothro menyebutkan opini publik ialah ekspresi sikap mengenai persoalan masyarakat.
Sebanyak 74 guru besar dari sejumlah universitas meminta keputusan berisi perintah agar 75 pegawai KPK menyerahkan tugas kepada atasan langsung mereka dibatalkan. Mereka menilai tes wawasan kebangsaan yang diikuti seluruh pegawai KPK memiliki problematik serius.
Opini para guru besar itu sebangun dengan kesimpulan Komnas HAM dan Ombudsman RI. Komnas HAM menyimpulkan penyelenggaraan teknis asesmen TWK dalam rangka alih status pegawai KPK tanpa dasar hukum yang jelas dan tepat serta terindikasi tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ombudsman juga menemukan malaadministrasi atau dugaan penyimpangan prosedur dalam prosesnya. Yang dimaksud malaadministrasi ialah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses administrasi pelayanan publik.
Kesimpulan Komnas HAM dan Ombudsman itu masih bersifat dugaan. Sementara itu, putusan MA dan MK sudah final dan mengikat. Karena itu, semua yang bersifat dugaan itu mesti otomatis gugur.
Benar bahwa semua rezim bergantung pada opini publik menurut mantan Presiden Amerika Serikat James Madison. Matthew Hall menyebut putusan MA Amerika Serikat dipengaruhi dan menuruti opini publik.
Patut diapresiasi bahwa putusan etik dan hukum dalam kasus TWK sama sekali tidak dipengaruhi opini publik. Putusan itu sejalan dengan saran Fajar Laksono Suroso dalam sebuah tulisannya yang menyarankan jangan sampai hakim tersesat memutus atas dasar fakta-fakta yang imajinatif dan fiktif karena terbawa larut oleh opini publik. Hakim harus independen.
Putusan ialah mahkota hakim. Putusan hebat ialah putusan yang berani bertentangan dengan opini publik, bahkan bisa memengaruhi atau mengubah opini publik. Kata kuncinya, masih menurut Fajar, opini publik lebih menekankan pada social justice, sedangkan penegakan hukum bertujuan menciptakan legal justice.
Menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan pengadilan itulah esensi supremasi hukum yang bermakna bahwa hukum memiliki kekuasaan tertinggi di negeri ini. Baik penguasa maupun rakyat harus tunduk pada putusan tersebut. Jangan ada lagi mobilisasi opini untuk mendiskreditkan putusan MA dan MK terkait dengan TWK.
Mulai ada yang mengembangkan wacana bahwa perlu membedakan antara putusan MA dan MK yang menilai norma dengan sejumlah temuan Ombudsman tentang malaadministrasi dan Komnas HAM tentang pelanggaran HAM di pelaksanaan TWK.
Kini saatnya para pemimpin pantang lutut bergetar bila kebijakan mereka dipersoalkan opini publik asalkan kebijakan itu dilandasi hukum, konstitusi, dan aturan ketatanegaraan. Jangan jadi pemimpin yang peragu.
KPK mestinya dengan kepala tegak memastikan TWK berjalan tegak lurus. Kita tak ingin negara ini digerakkan semata oleh opini publik yang masih harus diuji kebenarannya. Dalam negara beradab, penguasa menjalankan roda pemerintahan di atas prinsip supremasi hukum, bukan supremasi opini publik.
Tulisan ini telah dimuat di medcom.id dengan link https://www.medcom.id/pilar/kolom/aNr9Z3PK-bukan-supremasi-opini
Tinggalkan Balasan