Di tengah gemerlap pesona alam Dataran Tinggi Dieng yang memesona, tersembunyi sebuah cerita kelam yang melintasi waktu dan mencengkeram ingatan. Sebuah kisah tragis dari masa lalu yang menyisakan misteri hingga kini. Inilah kisah Dukuh Lagetang, sebuah desa yang lenyap dalam satu malam, merangkum keajaiban dan kutukan di tanah yang terpencil.

Penulis : Edy Basri., SH
Pemred Katasulsel.com

DILANSIR dari catatan sejarah, Dukuh Lagetang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara. Pada 16 April 1955, langit Dieng tak lagi cerah. Sebuah bencana tanah longsor, datang seperti hantu di malam gelap. Gunung Pengamun-amun, yang menjulang angkuh di kejauhan, menjadi saksi bisu ketika tanah bergerak ganas menelan desa kecil itu.

Tak kurang dari 332 jiwa penduduk setia Dukuh Lagetang, serta 19 tamu dari desa tetangga, terkubur dalam reruntuhan. Mereka, tak bersalah, menjadi korban sunyi dari kekuatan alam yang menggila. Desa itu, seperti ditelan tanpa bekas, tersapu oleh tanah yang rakus.

Namun, bukan hanya kenangan yang tersisa dari tragedi itu. Sebuah tugu berdiri tegak di tempat yang pernah menjadi rumah bagi ratusan jiwa. Sebuah monumen kehormatan untuk 332 jiwa yang tak lagi bernyawa. Tugu itu menjadi saksi bisu dari kesedihan yang tak terucap, mengingatkan dunia akan keberadaan mereka yang lenyap dalam sekejap.

Namun, misteri Dukuh Lagetang tak berhenti di sana. Kisah gelap menyusup di antara jalinan tragedi. Sebuah cerita tentang kesembronoan dan dosa-dosa yang menghantui. Konon, penduduk desa itu, dalam kesehariannya, terjerat dalam belenggu keangkuhan dan keserakahan.

Tertulis dalam catatan sejarah lokal, sebelum bencana itu, Dukuh Lagetang terkenal dengan kekayaannya. Namun, keberlimpahan tak diiringi dengan rasa syukur. Desa itu dikenal karena praktik-praktik yang melenceng dari ajaran agama. Perjudian, kebejatan seksual, dan kelalaian dalam beribadah menjadi bayangan yang menghantui.

Bersambung ke-hal 2

Dapatkan berita terbaru di Katasulsel.com