Sidrap, katasulsel.com – Hujan deras yang mengguyur wilayah hulu di Sidrap, menyebabkan banjir bandang di Desa Kampale, Selasa malam (6/8), sekira Pukul 21.00 WITA.
Banjir merendam permukiman dan sawah-sawah warga selama 24 jam. banjir baru mereda pada Rabu malam (7/8).
Meski sudah surut, namun dampak yang ditinggalkannya menyisakan luka mendalam bagi penduduk yang masih terjaga dari tidur mereka, sedih dan pasrah menggelayut.
Di bawah sinar rembulan yang pudar, suasana di Desa Kampale malam ini, tampak seperti lukisan suram yang diciptakan oleh tangan tak kasat mata.
Di tengah puing-puing rumah dan sawah yang terendam, tanggul yang biasanya berdiri kokoh kini menganga dengan ‘luka’ yang besar.
Arus yang begitu keras, memporak-porandakan tanggul dan menggerus lapisan-lapisan tanah di sekitarnya, menyebabkan kendaraan terjebak.
Banjir kali ini di desa ujung timur Sidrap itu, bukanlah yang pertama kali.
Baru beberapa bulan lalu, Desa Kampale merasakan perihnya bencana serupa. Saat itu, ratusan rumah warga terendam, bahkan dua unit rumah penduduk terseret arus.
Sebuah tragedi yang meninggalkan bekas trauma di hati setiap keluarga.
Kini, bencana serupa datang kembali dengan kejam, mengancam kestabilan dan kehidupan yang sudah lama teruji oleh berbagai kesulitan.
Selasa malam, saat lonjakan air dimulai, desa yang tenang tiba-tiba berubah menjadi medan pertempuran melawan arus air yang tidak dapat dikendalikan.
Warga yang terbangun dari tidur, terpaksa berlarian untuk menyelamatkan barang-barang berharga dan keluarga mereka.
Rasa panik menyebar seperti api dalam tumpukan jerami, menambah beban yang sudah berat di pundak mereka.
Setelah 24 jam menanti, air pun mulai surut, tetapi kerusakan yang ditinggalkannya menambah beban yang tak tertanggungkan.
Tanah-tanah pertanian yang menjadi sumber kehidupan bagi warga kampale kini, tenggelam dalam lumpur.
Kebun-kebun yang sebelumnya hijau dan subur kini menjadi hamparan tanah berwarna coklat kehitaman, di mana setiap tanaman yang pernah tumbuh harus merelakan hidupnya.
Kebangkitan pagi membawa pemandangan yang memilukan. Warga desa memulai hari dengan menelusuri jejak-jejak kehancuran, mencari-cari barang-barang yang mungkin masih bisa diselamatkan.
Tangisan anak-anak yang kedinginan dan suara ibu-ibu yang berdoa di tengah puing-puing rumah mereka menambah derita yang sudah dirasakan.
“Rasa sakit ini sangat mendalam, suda berkali-kali, bantu kami ya Tuhan,” tutur Nasriadi, seorang ayah yang melihat sawahnya hancur.
Padahal, Nasriadi dan warga Desa Kampale lainnya, baru saja mulai bangkit dari bencana sebelumnya, dan kini kami harus mulai dari awal lagi.
Tidak hanya rumah yang hancur, namun akses menuju desa juga terputus.
Jalan-jalan yang dulunya menjadi penghubung utama kini dipenuhi lumpur dan puing-puing, membuat distribusi bantuan menjadi semakin sulit.
Para petugas dari pemerintah dan relawan harus bekerja keras, bergelut dengan kondisi yang berat, untuk menyediakan kebutuhan mendasar bagi warga yang sangat membutuhkan.
Pemerintah setempat telah mengerahkan tim tanggap darurat untuk melakukan evaluasi kerusakan dan memulai proses rehabilitasi.
Namun, seperti biasa, proses ini memerlukan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit.
Desa Kampale, yang terletak kurang lebih 30 kilometer dari ibu kota Sidrap, kini memerlukan perhatian yang lebih besar untuk bisa bangkit kembali dari kegelapan yang mengancam kehidupan mereka.
Melihat ke depan, ada harapan yang samar-samar. Meski tumpukan puing dan tanggul yang rusak menunjukkan kenyataan yang menyedihkan, semangat dan tekad masyarakat untuk membangun kembali desa mereka masih kuat.
Banjir mungkin telah menghancurkan, tetapi harapan dan solidaritas di antara mereka tetap berdiri teguh.
Kampale, desa yang kini terpuruk dalam derita berulang, berdiri sebagai saksi bisu dari keputusasaan dan keberanian manusia.
Dalam kesedihan yang mendalam, ada sebuah cerita tentang ketahanan dan tekad, yang menggambarkan betapa kuatnya hati manusia dalam menghadapi ujian yang seakan tak ada habisnya. (*)
Tinggalkan Balasan