banner 600x50

Jakarta, katasulsel.com — Dalam upaya menghadirkan sistem peradilan yang lebih manusiawi dan rehabilitatif, Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana mengumumkan penerapan mekanisme keadilan restoratif dalam penyelesaian 12 kasus pidana hari ini, Rabu, (14/8).

Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah kasus penadahan yang melibatkan Tersangka Kaharuddin bin Kunnu dari Kejaksaan Negeri Takalar, di Sulawesi Selatan

Kasus ini bermula pada 22 Mei 2024 ketika Kaharuddin membeli sepeda motor Yamaha Nmax dari saksi Yangga di Pasar Lambocca, Kecamatan Jukukang, Kabupaten Bantaeng.

Meskipun Kaharuddin menggunakan sepeda motor tersebut untuk keperluan sehari-hari, transaksi ini menyebabkan dia menghadapi dakwaan Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan. Kaharuddin kemudian menghadapi ancaman hukuman yang cukup berat.

Dalam penanganan kasus ini, Kepala Kejaksaan Negeri Takalar, Tenriawaru, S.H., M.H., bersama Jaksa Fasilitator Vidza Dwi Astariyani, S.H., M.H., dan Muh Aqsha Darma Putra, S.H., memutuskan untuk menerapkan prinsip keadilan restoratif. Dalam mekanisme ini, Kaharuddin mengakui kesalahannya dan secara tulus meminta maaf kepada korban.

Korban menerima permintaan maaf tersebut dan menginginkan agar proses hukum dihentikan. Kesepakatan ini kemudian diajukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Agus Salim, S.H., M.H., dan disetujui untuk menghentikan penuntutan, yang akhirnya mendapat persetujuan dari JAM-Pidum.

banner 250x250

Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum., Kepala Pusat Penerangan Hukum, Jaksa Agung Republik Indonesia, mengatakan, keadilan restoratif merupakan langkah maju dalam reformasi sistem peradilan di tanah air.

“Ini bukan hanya tentang menghukum pelanggaran, tetapi juga tentang memperbaiki kerusakan dan memulihkan hubungan antara pelaku dan korban. Kasus Kaharuddin adalah contoh konkret bagaimana pendekatan ini dapat memberikan hasil yang adil dan membangun kembali harmoni dalam masyarakat,”akunya.

Dr. Harli juga menekankan pentingnya prinsip keadilan restoratif dalam kasus-kasus lainnya.

“Dengan menerapkan keadilan restoratif, kita tidak hanya mengurangi beban sistem peradilan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri dan berkontribusi positif kepada masyarakat. Pendekatan ini memberikan ruang bagi perdamaian dan pemulihan yang lebih manusiawi, sambil tetap menjaga kepentingan hukum dan keadilan,” paparnya.

Selain kasus Kaharuddin, JAM-Pidum juga menyetujui penghentian penuntutan dalam 11 kasus lainnya, mencakup pelanggaran dari pengancaman hingga pencurian dan penganiayaan.

Beberapa kasus yang mendapat perhatian termasuk pelanggaran Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Pengancaman oleh Irman Firmansyah dan Abd Azis bin Upa dari Kejaksaan Negeri Bantaeng, serta pelanggaran Pasal 362 KUHP tentang Pencurian oleh Agus Abdullah Als Agus dari Kejaksaan Negeri Buol.

Penghentian penuntutan dalam kasus-kasus ini mempertimbangkan beberapa faktor seperti proses perdamaian yang dilakukan tanpa tekanan, riwayat hukum pelaku, ancaman pidana yang tidak lebih dari lima tahun, komitmen pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya, serta dukungan masyarakat.

Keputusan ini juga mengacu pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022.

Dengan langkah ini, diharapkan sistem peradilan Indonesia semakin berorientasi pada pemulihan dan rekonsiliasi, mencerminkan komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.(*)