banner 650x65

Dogiyai, Papua – Sebuah video mengejutkan dan memicu perdebatan panas di media sosial! Sekelompok warga Papua di Distrik Mapia, Kabupaten Dogiyai, tiba-tiba menghadang rombongan Brimob bersenjata lengkap, Jumat, 5 Oktober 2024.

Namun, bukan sekadar aksi adang biasa, kali ini mereka menuntut sesuatu yang luar biasa: uang sebesar Rp 1 miliar sebagai “uang permisi lewat” agar jalan dibuka dan rombongan, termasuk pejabat penting, dapat melanjutkan perjalanan.

banner 400x600

Menegangkan! Warga Tuntut Miliaran, Brimob Tetap Tenang

Situasi yang berlangsung di jalan yang menghubungkan Kabupaten Nabire dan Paniai ini benar-benar membuat jantung berdebar. Bagaimana tidak? Sekitar 50 orang warga memblokir jalan dengan sikap tegas.

Namun, di balik semua ketegangan ini, Brimob yang dikenal dengan reputasi tegas mereka, justru memilih langkah damai.

Tidak seperti skenario penuh bentrokan yang mungkin banyak orang bayangkan, kejadian ini justru berakhir damai. AKBP Achmad Fauzan, Kasatgas Humas Operasi Mantap Praja Cartenz II-2024, dengan tenang menceritakan bahwa aparat memilih jalan negosiasi tanpa tindakan represif.

“Kami berhasil menenangkan mereka melalui dialog. Kami tidak ingin ada konfrontasi,” ujarnya.

Ternyata, strategi Brimob kali ini mengundang pujian. Tak ada baku hantam, tak ada suara tembakan. Hanya komunikasi intensif dan penyelesaian cerdas. Tapi tunggu dulu, di balik akhir yang damai ini, ada hal lain yang perlu dibahas!

Fenomena tuntutan “uang permisi lewat” ini bukan hal baru di Papua, terutama di wilayah pedalaman.

Namun, angka fantastis Rp 1 miliar tentu memicu pertanyaan. Apakah ini hanya bagian dari budaya lokal, atau lebih dalam lagi, ini adalah bentuk protes warga yang merasa diabaikan?

Beberapa pengamat menyebut tuntutan ini sebagai simbol dari ketidakpuasan ekonomi dan sosial warga setempat yang telah lama tertindas. Mengapa uang sebesar itu diminta? Apakah ini mencerminkan jurang ketidakadilan yang semakin menganga?

Tak lama setelah negosiasi, rombongan Brimob dan pejabat langsung melanjutkan perjalanan untuk mengawal kampanye salah satu pasangan calon Gubernur di Paniai.

Ya, kampanye pun berjalan mulus tanpa hambatan. Tapi di balik gemuruh sorak-sorai kampanye, pertanyaan besar muncul: apakah semua ini hanya kebetulan terjadi di tengah panasnya suasana politik Papua?

Warga Papua, terutama di wilayah pedalaman seperti Distrik Mapia, seringkali merasa ditinggalkan oleh pembangunan.

Apakah aksi hadang ini adalah cara mereka untuk “memaksa” perhatian pemerintah? Atau ini hanya permulaan dari gelombang protes yang lebih besar?

Kasus ini menjadi cermin tantangan besar yang dihadapi Papua.

Pemerintah memang berhasil menyelesaikan situasi ini dengan damai, tetapi apakah solusi jangka panjang telah dipikirkan? Atau apakah hanya masalah waktu sebelum kejadian serupa kembali terulang?

Yang jelas, video aksi hadang ini telah membuka kembali wacana tentang hubungan antara pemerintah, aparat, dan masyarakat Papua yang kerap berjalan di jalur yang berbeda.(*)