banner 600x50

Pilkada datang lagi. Seperti hujan yang membawa basah, ia datang dengan segala riuhnya. Para calon, spanduk, janji-janji. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, ada satu peran yang tak kalah penting. Jurnalis.

Oleh: Edy Basri

SEORANG jurnalis, di masa Pilkada, bukan sekadar penulis. Ia adalah penafsir cerita, penyambung suara.

Namun, di antara riak politik yang penuh kepentingan, ia harus berjalan di garis yang tipis. Garis yang memisahkan antara benar dan salah, antara adil dan berat sebelah.

Pilkada seperti sebuah panggung besar. Semua calon ingin tampil, ingin terlihat.

Di sinilah peran jurnalis diuji. Apakah mereka menjadi penonton yang hanya melihat satu sisi? Ataukah mereka menjadi sutradara yang mengatur agar setiap calon mendapat tempat di sorotan?

Menulis tentang seorang calon, mengangkat gagasan dan visinya, itu wajar. Bahkan, ada yang berkontrak—berbayar. Sebuah kerja sama antara media dan calon.

Tapi jurnalis sejati tahu, tugasnya bukan hanya soal uang. Ada hal yang lebih penting dari itu. Objektivitas.

Ya, boleh saja ada kontrak. Boleh ada kerja sama. Namun, jangan sekali-kali menjatuhkan calon lain yang tidak berkontrak. Jangan memelintir cerita.

Jangan menciptakan narasi yang menyesatkan. Jurnalis bukan pemukul bayaran. Mereka adalah pembawa berita, bukan pencipta drama.

Bertutur Adil

Setiap calon, dari yang kuat hingga yang lemah, harus diberi panggung yang sama. Biarkan pembaca yang menilai. Biarkan rakyat yang memutuskan. Tugas jurnalis hanya satu: bertutur dengan adil.

Bersambung..

Jika seorang calon punya gagasan hebat, tulislah. Jika ada calon yang punya program luar biasa, angkatlah. Tapi jangan lupa, lawannya juga punya cerita. Mereka juga berhak mendapat tempat.

Pilkada bukan hanya tentang siapa yang menang. Ini tentang proses, tentang bagaimana suara rakyat didengar.

Dan jurnalis adalah telinga dan mulut bagi rakyat. Mereka menyampaikan apa yang terjadi, tanpa memihak, tanpa memalsukan.

Jurnalis, Bukan Alat Politik

Seringkali, godaan datang. Ada calon yang datang membawa amplop tebal. Ada pula yang datang dengan janji manis, “Bantu saya, nanti kamu ikut sukses.”

Di sinilah letak ujian sebenarnya. Seorang jurnalis harus kuat menolak. Ia bukan alat politik. Bukan pelayan calon tertentu. Ia adalah pemandu kebenaran.

Netral. Itulah kata kunci. Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk utara, jurnalis harus selalu menunjuk pada kebenaran. Tanpa dipengaruhi oleh uang, oleh kekuasaan, atau oleh tekanan.

Memang, tak mudah. Di tengah pusaran Pilkada, banyak arus yang bisa menyeret. Tapi seorang jurnalis yang baik tahu, tugasnya bukan berenang mengikuti arus, melainkan berdiri tegak di atas prinsip.

Pilkada akan berakhir. Akan ada yang menang dan kalah. Tapi jurnalis yang bekerja dengan jujur, yang menulis dengan adil, akan selalu menang. Sebab keadilan tak pernah mengenal kekalahan. (*)