banner 600x50

Di bawah langit agak cerah, personel Sat Reskrim Polres Sidrap, tiba. Di rumah panggung yang sederhana, nenek lumpuh berusia seabad tersenyum lemah.

Oleh: Edy Basri

DESA Sipudeceng, sebuah kehidupan di sudut Kabupaten Sidrap, seolah terdiam.

Matahari mulai condong ke barat. Jumat sore itu, 11 Oktober 2024, di bawah langit cerah, para personel Sat Reskrim Polres Sidrap bergerak dengan langkah berat tapi hati ringan.

Tepat Pukul 16.00 WITA. Mereka tiba, berjala paling depan Kasat Reskrim AKP Agung Rama Setiawan, SIK., M.Si, diikuti sejumlah anggota.

Mobil-mobil polisi berhenti di ujung jalan desa, membawa paket sembako yang entah cukup berapa lama untuk menyambung hidup.

Tapi bukankah kebaikan bukan soal jumlah, melainkan ketulusan?

Ada 20 kepala keluarga yang menanti. Mereka tak menanti banyak, hanya menanti perhatian.

Di antara mereka, seorang nenek. Nenek tua. Usianya lebih dari seratus tahun.

Tak ada lagi yang bisa ia lakukan, selain terbaring di pembaringan yang sudah aus oleh waktu, di rumah kecil yang rapuh.

Kaki nenek tak bisa lagi menjejak tanah. Lumpuh. Tapi hatinya? Mungkin masih kuat bertahan, meski hari-hari dilalui dalam sunyi, dalam sepi.

Mata nenek berkaca-kaca ketika rombongan polisi tak berseragam dinas ini masuk ke rumahnya.

Tak ada kata-kata keluar. Hanya isakan kecil, hampir tak terdengar.

Di dunia yang begitu cepat berlalu, siapa yang masih ingat dengan seorang nenek tua di sebuah desa terpencil?

Siapa yang peduli bahwa ia masih ada, masih bernapas, masih hidup meski sudah lumpuh dan tak berdaya?

Agung Rama Setiawan, yang biasanya tegap dan tegas, terdiam sejenak di hadapan nenek.

Matanya berkaca. Sembako itu, sekotak berisi bahan makanan, mungkin tak seberapa.

Tapi bagi nenek itu, mungkin ini adalah jembatan antara hari ini dan esok. Di mana ia bisa bertahan sedikit lebih lama, tanpa rasa takut akan lapar.

“Ini dari kami, Nek. Untuk makan sehari-hari…” Suara Agung Rama Setiawan, bergetar, mencoba menyembunyikan sesuatu yang terasa berat di dadanya.

Si nenek tak menjawab. Hanya senyumnya yang samar-samar.

Tak ada banyak tenaga yang tersisa dalam dirinya.

Tapi mata itu—mata yang telah menyaksikan seratus tahun lebih kehidupan, penuh perjuangan dan kesakitan—menatap penuh rasa terima kasih.

Seolah berkata, aku masih di sini. Aku masih dihargai.

Personel Sat Reskrim pun melanjutkan pembagian, dari satu rumah ke rumah lainnya.

Tak banyak yang bisa mereka lakukan, tapi setiap senyum, setiap tatapan mata, adalah kisah yang menggetarkan.
Ada keluarga yang tak lagi tahu kapan terakhir kali mereka kenyang.

Ada ibu yang menggendong bayi kecil tanpa susu. Ada lelaki tua yang duduk termenung di depan pintu, memikirkan apa yang bisa ia lakukan esok hari.

Dan Jumat itu, di bawah langit yang berwarna biru, “Jumat Berkah” bukan hanya sekadar kegiatan rutin.

Ia adalah secercah harapan. Untuk mereka yang hampir menyerah. Untuk mereka yang tinggal menunggu waktu.(*)