banner 600x50

Makassar, Katasulsel.com — Di Jalan Tol Layang Reformasi, suasana mendung menyelimuti hati yang berduka. Dua nyawa melayang, terenggut dalam sekejap.

Hajjah Nurjannah, pemilik Rumah Makan Pallu Basa, dan putranya, Muhammad Fadlan, pergi meninggalkan duka mendalam bagi yang tersisa.

Kini, suaminya, berinisial AQ, ditetapkan sebagai tersangka. Bukan karena kebencian, melainkan kelalaian yang menghantarkan mereka ke pelukan maut.

Kasat Lantas Polrestabes Makassar, Komisaris Polisi Mamat Rahmat, berdiri tegar di depan wartawan, menyampaikan keputusan itu dengan nada datar.

“Pengemudi ditetapkan tersangka, tetapi belum ditahan. Walaupun tidak ada laporan, kecelakaan ini wajib ditangani,” ucapnya. Suara tegasnya menggema, menandakan bahwa keadilan harus ditegakkan.

AQ, yang saat itu mengemudikan mobil Toyota Land Cruiser, kini berhadapan dengan hukum.

Pasal 310 Ayat 4 dan 310 Ayat 3 subsider Pasal 109 dari Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 2 Tahun 2009 menantinya, dengan ancaman enam tahun penjara dan denda maksimal Rp12 juta.

Angka-angka itu menjadi bayang-bayang kelam dalam hidupnya.

“Dia tetap dikenakan hukum, meski belum ditahan,” lanjut Mamat, menegaskan bahwa meski AQ kooperatif, beban mentalnya berat.

“Dia masih dalam pemulihan psikologi.” Seolah-olah kesedihan yang tak tertahankan menjadi penjara tersendiri, AQ harus melapor secara rutin.

Di sisi lain, supir truk kontainer, Wahyudi, juga terjebak dalam jaringan kecelakaan ini. Berusia 30 tahun, ia diwajibkan melapor dan memberikan keterangan lebih lanjut.

Di tengah tragedi ini, semua berusaha menampilkan sikap kooperatif, seolah berusaha meraih secercah harapan dalam situasi kelam.

Di lokasi kejadian, hasil olah TKP menggunakan traffic accident analysis (TAA) mengungkap fakta mencengangkan. Mobil AQ melaju dengan kecepatan 127,3 kilometer per jam, sementara truk kontainer hanya 40,1 kilometer per jam.

Dua kendaraan itu, ibarat dua pesawat terbang yang meluncur di langit tak terlihat, bertabrakan di jalur yang sama, tanpa kesadaran akan nasib yang menanti.

“Dia buru-buru mengantar saudaranya ke bandara, mengambil lajur kanan. Namun, di depannya ada kendaraan lain, dan dia berusaha mengambil lajur kiri.

Tabrakan pun tak terhindarkan,” paparnya. Kisah yang diwarnai oleh kecepatan dan keputusan yang terburu-buru ini mengingatkan kita bahwa setiap detik dalam berkendara adalah pertaruhan.

Tragedi ini menggugah kesadaran kita akan pentingnya kehati-hatian di jalan raya. Dua nyawa yang pergi begitu saja meninggalkan jejak di hati banyak orang.

Hajjah Nurjannah dan anaknya Muhammad Fadlan, nama-nama yang akan selalu dikenang. Jalan tol, yang seharusnya menjadi sarana penghubung, kini menjadi saksi bisu dari sebuah kehilangan.

Seperti kata pepatah, di mana ada bahaya, di situ ada pelajaran. Semoga peristiwa ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dan menghargai setiap momen bersama orang-orang tercinta.