banner 600x50

Pagi itu, langit Sidrap seolah memayungi acara besar. KNPI Sidrap, dengan ketua baru, dilantik. Aswagino.

Oleh: Edy Basri

PEMUDA eks aktivis mahasiswa ini baru saja dilantik menjadi Ketua KNPI Sidrap, siap membawa KNPI ke era baru.

Aula Universitas Ichsan (UNISAN) terkonsentrasi dipadati orang-orang berjas biru, di bawah tatapan Bung Agus Rasyid Butu (ARB) yang memimpin pelantikan itu.

Saya tiba lebih awal. Setengah jam sebelum acara dimulai, saya memutuskan untuk menelusuri area kampus.

UNISAN ini dulunya kantor bupati, tapi kini sudah berubah rupa. Jika dulu kesan birokratis terasa kaku, sekarang? Lembut, romantis dan terasa akademis.

Bangunan ini telah disulap, tak lagi menyiratkan nuansa pemerintahan. Suasana kampus benar-benar sudah terasa. Bernuansa ‘Kampus Merdeka’

Diluar sana, mahasiswa berkeliaran dengan riang, duduk berkelompok di sudut-sudut, mengobrol ringan atau serius di bawah pohon teduh.

Namun, yang paling menarik perhatian saya bukanlah aula atau perubahan fisik kampus itu.

Melainkan, sebuah sudut kecil, di dekat tangga menuju lantai dua tempat acara. Ada sebuah kedai kopi—Kopi UNISAN.

Sederhana. Tetapi aromanya menyergap, langsung menyusup ke pikiran.

Saya berhenti sejenak. Memesan segelas kopi susu panas. Harganya cuma Rp3 ribuan saja. Murah sekali.

Satu tegukan—dan saya pun terdiam. Ini bukan sekadar kopi. Ada cerita di dalamnya.

Kopi UNISAN terasa seperti esensi dari Sidrap sendiri. Bukan manisnya saja yang mempertegas itu, tapi pahitnya yang bersahaja juga.

Seperti Sidrap, kota yang tumbuh dari kesederhanaan menjadi salah satu sentra beras yang dikenal luas.

Saya terus menyeruput, sementara di aula lantai dua, mulai riuh persiapan mulai terdengar.

Sebentar lagi, Aswagino dan kabinetnya akan diambil sumpahnya. Sebuah panggung baru bagi pemuda-pemuda Sidrap yang digembleng untuk menghadapi masa depan.

Pelantikan berlangsung hikmat. Aswagino, yang menggantikan Padli Odding, menyampaikan pesan penuh harap.

Saya menyimak setiap kata yang disampaikan Aswagino. Retorikanya bagus, menggebu-gebu.

Duduk disamping Pak Nahar, anggota DPRD Sidrap, membuat saya ikut terhormat, tak lama kemudian, Doktor Jabbar datang menyapa. Saya di tengah.

“Sidrap harus maju. Kita semua harus fokus,” kata Aswagino dari ujung alat pembesar suara di tangannya.

Kalimat yang sederhana, namun tajam. Fokus, seperti secangkir kopi susu yang saya habis minum. Tak banyak hiasan, langsung pada inti. Manis sekali, heee..

Aswagino berorasi, bahwa KNPI Sidrap di bawah kepemimpinannya adalah yang terbesar. Maksudnya, pengurusnya ‘gemuk’

Itu, sebut dia, sengaja. Sebab ia memang sudah niat untuk merangkul semua elemen pemuda. Dari desa hingga kota, semua harus bersatu-bersinergi

“Semua pemuda saya rangkul,” ujarnya terlihat sangat puas.

Semuanya, dari pelosok desa hingga kota. Semua diajak untuk berkolaborasi. Seperti secangkir kopi, setiap butirnya berperan dalam menciptakan harmoni rasa. Begitulah Sidrap bagi Aswagino

Satu pesan yang saya ingat. “Kita sedikit bicara, tapi banyak bekerja.” Seperti pemuda di sudut kampus itu—tenang, namun jelas sedang menyusun rencana besar. Begitulah kopi ini juga bekerja—tenang, namun berkesan.

Setelah acara usai, saya kembali menatap bangunan tua yang telah bertransformasi menjadi kampus ini. UNISAN Sidrap mungkin kecil dibanding universitas-universitas besar lainnya. Tapi, ia punya jiwa. Sama seperti kopi yang barusan saya teguk.

Kopi Sidrap. Kopi yang berbicara tanpa perlu berteriak.(edy)