banner 600x50

Jakarta, katasulsel.com — Erick Thohir geram. Kekalahan dari China—negara yang entah mengapa selalu menjadi duri dalam daging sepak bola Indonesia—memaksanya untuk bergerak.

Qingdao, kota pelabuhan di tepi Laut Kuning, menjadi saksi bisu ketika Garuda terbang rendah. Skor 1-2 menghantam mental para pemain, dan sekaligus membuat para pendukung Garuda menunduk.

Dua gol bersarang cepat di babak pertama. Baihelamu Abuduwaili memecah kebuntuan pada menit ke-21. Seperti kilat yang datang tak terduga, Zhang Yuning menambah derita sebelum peluit babak pertama berbunyi.

Dua gol itu seperti palu godam menghantam tembok kepercayaan diri Indonesia.

Tim Merah Putih mencoba bangkit di babak kedua. Beberapa nama baru dimasukkan, mengubah formasi seperti kapal yang mencoba berlayar melawan badai.

Gol akhirnya lahir dari kaki Thom Haye, pemain pengganti, pada menit ke-86. Sebuah secercah harapan. Namun, itu saja tidak cukup. China sudah terlalu rapat, temboknya tak terbelah hingga sembilan menit tambahan waktu habis.

Di Qingdao, China tertawa. Poin pertama mereka setelah tiga kekalahan.

Sementara itu, Indonesia terpuruk dalam kekalahan perdananya di putaran ketiga. Rekor buruk melawan China di tanah mereka pun kian panjang. Negeri Tirai Bambu memang keras.

Tapi ini bukan akhir. Erick Thohir, sang Ketua Umum PSSI, tidak menyerah. Melalui akun Instagramnya, Erick berbicara tegas.

“Kita harus mendukung Timnas, baik menang maupun kalah,” katanya.

Tetapi dia tahu, dukungan tanpa evaluasi adalah sia-sia. Evaluasi besar akan dilakukan setelah Tim Garuda pulang dari China. Tidak ada ruang untuk bersembunyi di balik alasan.

Indonesia masih punya peluang. Masih ada enam pertandingan tersisa.

Enam kali kesempatan untuk membuktikan diri, untuk memperbaiki kesalahan, untuk berjuang demi mimpi Piala Dunia 2026. Jepang dan Arab Saudi sudah menunggu di depan mata—dua laga kandang yang bisa jadi penentu nasib.

Qingdao adalah tamparan. Tapi sepak bola, seperti hidup, adalah soal bangkit. (*)