banner 600x50

Jakarta, katasulsel.com – Sepi di luar, ramai di dalam. Pemanggilan nama-nama besar oleh Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto, untuk kabinet baru semakin panas dibicarakan.

Namun, satu hal yang tak kalah penting adalah siapa yang akan memimpin PT PLN (Persero). Ini bukan sekadar soal listrik, tapi soal etika dan kepemimpinan.

Di bawah bayang-bayang Kementerian BUMN, PLN adalah raksasa. Bukan sembarang BUMN, tapi tulang punggung kelistrikan negeri.

Satu kesalahan saja, seluruh negeri bisa gelap. Karena itu, siapa yang duduk sebagai Direktur Utama PLN harus paham urat nadi perusahaan ini. Bukan sembarang pemimpin.

Ia harus lahir dari dalam, dari mereka yang sejak awal berkarir di PLN, bukan dari kalangan eksternal lagi.

“PLN itu bukan sekadar perusahaan. Ia adalah sistem. Untuk memahami sistem ini, harus orang yang bernafas listrik. Bukan hanya paham teknis, tapi juga tahu bagaimana menjalankan perusahaan dengan etika.

Sudah tiga kali kita dipimpin orang luar, hasilnya? PLN jadi lebih dikenal karena individunya, bukan prestasinya,” tegas Teuku Yudhistira, Koordinator Nasional Relawan Listrik Untuk Negeri (Re-LUN), saat ditemui di Jakarta, Rabu (16/10/2024).

Teuku Yudhistira, yang akrab disapa Yudhis, menambahkan bahwa pemilihan Dirut PLN seharusnya tidak lagi menjadi sekadar “jatah politik”.

Sosok internal, menurutnya, lebih paham denyut kehidupan di perusahaan tersebut. “Rumah bagi mereka, ya PLN ini. Mereka tahu bagaimana menggerakkan roda kelistrikan negeri ini tanpa harus diajari lagi dari nol,” ujarnya.

Kekayaan yang Melonjak Tajam

Tapi ada yang lebih mengusik pikiran Yudhis. Soal kekayaan.

Dari Rp14,1 miliar pada 2020, kekayaan mantan Dirut PLN, Darmawan Prasodjo alias Darmo, melonjak menjadi Rp70,9 miliar dalam tiga tahun. Lonjakan yang menimbulkan tanda tanya besar. “Ini anomali.

Dalam tiga tahun, kekayaannya berlipat-lipat. Ini jelas perlu ditelusuri. LHKPN sudah jelas menunjukkan lonjakan ini. Darmawan seharusnya jadi contoh, bukan sebaliknya,” tegas Yudhis.

Lonjakan harta ini menjadi sorotan tajam. Terlebih, Darmo kabarnya punya ambisi besar kembali ke lingkar kekuasaan, entah di posisi Dirut PLN atau Wakil Menteri ESDM.

“Jika orientasinya kekayaan dan kekuasaan, kita khawatir. PLN butuh pemimpin yang lebih beretika, lebih manusiawi. Bukan yang berambisi mengejar kekuasaan,” kata Yudhis.

Humanis dan Beretika

Yudhis tak berhenti sampai di situ. Ia juga menyoroti gaya kepemimpinan yang keras dan tidak beretika.

“Pemimpin yang baik itu yang dihormati, bukan ditakuti. Kalau marah, ya jangan main gebrak meja, apalagi memaki pejabat yang lebih tua. Pimpinan harus berwibawa, tapi tidak arogan,” katanya.

“Jangan sampai pemimpin PLN ke depan sibuk mengutak-atik jabatan, memperhatikan ‘circle’ kecilnya saja. Kalau ada pegawai yang berprestasi, hargai. Jangan malah dimatikan karirnya hanya karena bukan orang dalam lingkaran,” tegas Yudhis.

Tantangan ke Depan

Dengan pasangan Prabowo-Gibran yang segera dilantik pada 20 Oktober, momentum ini sangat penting. Menteri BUMN yang dipilih nanti harus benar-benar cermat memilih siapa yang layak memimpin PLN.

Bukan sekadar memilih berdasarkan koneksi politik. “Listrik itu kebutuhan primer. Salah pilih, yang kena dampak bukan hanya PLN, tapi seluruh rakyat,” pungkas Yudhis.

Pada akhirnya, siapa yang memimpin PLN haruslah sosok yang tahu betul kebutuhan masyarakat, paham betul kelistrikan, dan yang lebih penting, punya etika.

PLN butuh sosok yang lahir dari dalam, dari rumahnya sendiri, bukan lagi dari luar yang hanya mengejar prestise dan kekayaan. PLN bukan panggung politik, tapi urat nadi bangsa.(edybasri)