banner 600x50

Sabtu pagi, cuaca di Gunung Bulu Baria terlihat bersahabat. Sembari menyusuri jalur setapak, Ainil dan enam rekannya bersemangat menggapai puncak.

Oleh: Edy Basri

MEREKA ini, adalah pendaki. Pejuang mimpi yang tak kenal lelah. Namun, di antara tawa dan ceria, tersimpan kisah pilu yang tak terduga.

Ainil, 20 tahun, bagian dari rombongan pendaki yang terdiri dari empat wanita dan tiga pria, berangkat dengan harapan.

Mereka merencanakan perjalanan seru ini untuk melepas penat. Namun, sabtu itu, takdir seolah mengubah arah. Usai mencapai puncak, situasi berbalik.

“Awalnya, saya dapat informasi dari korban dan orang yang bantu,” kata Mustain Tagrib JS, Pengelola Registrasi Bulu Baria. Miss komunikasi terjadi di puncak.

Satu anggota tim mengalami sesak napas. “Leader memutuskan untuk membawa temannya ini turun, dan minta tolong ke sweeper untuk back up,” jelas Mustain.

Ketika kelompok itu menikmati panorama, Ainil terpisah dari rekan-rekannya.

Dia memilih untuk berswafoto, mengabadikan momen di puncak, tak sadar cuaca mulai berangsur kelam. Ketika rekan-rekannya memutuskan untuk turun, Ainil tetap berdiam.

Perlahan, kedinginan menyerang tubuhnya. Kaki yang lelah mulai keram.

“Awal korban ini sehat untuk turun, namun ia minta waktu untuk beristirahat,” ungkap Mustain. Dalam kebisingan alam, terjadilah ketidakpahaman.

Ainil merasa nyaman di tempatnya, tanpa menyadari rekan-rekannya telah jauh pergi.

Rasa dingin menembus tulang. Ketika Ainil mencari tempat beristirahat di semak-semak, tak ada jalan untuk kembali.

Dia terjebak dalam kesunyian gunung. Di saat itu, desah napasnya perlahan mulai terputus.

“Tidak lama, ada rombongan lain yang turun, mereka mendengar suara Ainil,” kata Mustain, menggambarkan harapan yang tiba.

Berkat kehadiran tim pendaki lain dan seorang warga lokal yang kebetulan melintas, Ainil diselamatkan dari kedinginan yang parah.

Namun, kondisi sudah mengkhawatirkan. Gejala hipotermia mulai tampak, membuat semua orang panik.

Laporan baru diterima di pos registrasi sekitar pukul 3 sore.

“Dari pihak kami masih mengumpulkan informasi untuk memastikan A1 ini korban sakit apa,” ungkap Mustain.

Tim evakuasi dibentuk, lima orang siap berangkat dengan peralatan lengkap. Namun, waktu melawan mereka. Hanya sekitar dua jam untuk menyiapkan segala sesuatunya.

Malam pun datang. Tim evakuasi tiba di lokasi sekitar pukul 9 malam. Dalam gelap, mereka mencari Ainil, yang sudah tak berdaya.

“Keputusan diambil. Korban diistirahatkan dan baru akan dievakuasi keesokan harinya,” tambah Mustain, suara penuh harap. Malam yang kelam tidak menjadikan Ainil terlupakan.

Pagi harinya, saat sinar mentari mulai menembus kabut, tim kembali bersiap. Ainil diangkat dengan hati-hati, setiap langkah menuju keselamatan penuh harapan.

“Paginya dikirim bantuan lain untuk mengevakuasi korban turun,” pungkas Mustain.

Ainil perlahan dibawa kembali ke pos registrasi, di mana penanganan lebih lanjut menunggu.

Kabar baik datang: Ainil mulai membaik. Perlahan-lahan, dia akan kembali beraktivitas seperti biasa.

Sebuah pelajaran berharga bagi semua pendaki, bahwa komunikasi adalah kunci. Dalam keheningan gunung, tak ada yang lebih penting daripada saling menjaga.

Dan bagi Ainil, sebuah perjalanan yang mungkin tampak sepele, kini menjadi kisah hidup yang takkan pernah terlupakan.(*)