banner 600x50

Jakarta, katasulsel.com — Seperti taburan cahaya di malam kota, Jakarta Fashion Week 2025 hadir dengan tema “Future Fusion.”

Sebuah dialog lintas zaman yang membawa wastra dalam nafas baru. Di tangan para desainer, kain bukan sekadar warisan, melainkan simbol perlawanan pada arus waktu yang gemar melupakan. Mereka menolak, menepis, dan melangkah ke depan – membawa masa lalu sebagai bintang.

Landasan peraga di Pondok Indah Mall 3 berubah. Tidak lagi sekadar model yang bergerak dingin, tapi ekspresi yang menyala. BIN House memulai jalan cerita ini dengan musik, senyum, dan kecupan udara.

Ada “Love Don’t Let Me Go” dari Angelina Jordan yang menemani langkah mereka, merangkai puisi visual. Sebuah sapaan ringan dari sang model untuk Puan Maharani membuat penonton histeris – politik dan seni, bersatu di satu ruang.

Tak ada kaku, tak ada jarak, hanya aksi interaktif yang melunturkan batas antara penonton dan panggung.

Obin, si penjaga waktu dalam wastra, hadir dengan “Sekapur Sirih.” Kebaya, batik, dan tenunan khasnya berjalan lembut – seakan berbicara sendiri tentang kisah-kisah lama. Sekilas klasik, namun segar, seperti siluet kebaya janggan putih dan angkin.

Obin tidak bicara tren. Ia bicara esensi. Ada warna-warna cerah di sana, bukan monokrom yang kaku. Sebuah pesan dari masa lalu yang ingin tetap hidup dalam bahasa modern.

Di panggung sebelah, pada hari sebelumnya, dialektika berkumandang lewat karya Cita Tenun Indonesia, Oscar Lawalata Culture, fbudi, dan Era Soekamto. Masing-masing memaknai tenun dalam tiga langkah: tesis, antitesis, dan sintesis.

Oscar memilih tenun songket Halaban yang kaya warna. Ia mengolahnya menjadi pakaian siap pakai yang lekat dengan karakter Sumatera Barat. Pastel yang lembut, merah marun, hingga emas dan perak – tiap helai memiliki kekuatan yang tenang, tetapi berbicara tegas.

Lalu ada Felicia Budi yang membawa tenun Sobi Muna dari Sulawesi Tenggara dalam gaya streetwear. Warna-warna vibran dan aksen liuknya tak ubahnya permainan tetris. Felicia menyebutnya “cocok untuk streetwear” – siapa saja bisa mengenakannya, kapan saja, di mana saja. Sebuah cara bagi tenun Sobi untuk bernafas di antara denyut muda.

Era Soekamto hadir dengan interpretasi tenun cual Sambas. Ia membiarkan kehalusan Melayu dan keanggunan Dayak melebur dalam koleksi “Pakerti.”

Ada energi maskulin yang subtil, menyiratkan bahwa kecantikan bukan hanya soal rupa, tetapi martabat dan kehormatan. Era mengemasnya dalam siluet yang tetap feminin, namun kuat – sebuah simbol dari perpaduan adat, status, dan sosial.

Jakarta Fashion Week 2025 bukan sekadar peragaan. Ia adalah panggung hidup, di mana wastra, kebaya, dan tenun membisikkan pesan-pesan yang tak lekang oleh waktu.

Di balik warna-warna cerah dan rumbai, di balik interaksi spontan di runway, ada kisah-kisah yang ingin lestari. Seperti lagu yang diputar berulang kali, tapi tak pernah kehilangan makna. (*)