Jakarta, Katasulsel.com — Jakarta Fashion Week (JFW) 2025 kembali hadir, mengusung tema besar: “Future Fusion.” Dunia busana berbisik, budaya harus dijaga, tak boleh lapuk dimakan zaman. Para desainer meracik sesuatu yang berbeda.
Tak hanya kain dan potongan, tapi juga pesan. Mereka menganyam warisan masa lalu dalam irama kontemporer, memadukan elemen tradisional dalam konteks masa kini. Ruang ini bukan sekadar catwalk, melainkan panggung dialektika budaya.
Hari keempat, BIN House membuka panggung dengan semangat interaktif. Model tak lagi sekadar berlenggak-lenggok datar; mereka menebar senyum, menyapa penonton, melempar kecupan di udara. Lagu “Love Don’t Let Me Go” dari Angelina Jordan mengiringi langkah-langkah lincah.
Penonton berdecak kagum saat seorang model melangkah menghampiri politisi PDI Perjuangan, Puan Maharani, menyampaikan “kiss bye” yang disambut meriah.
Sementara itu, di sudut lain, Obin dengan koleksi “Sekapur Sirih” membawakan kebaya janggan putih berpadu luaran hitam ala kebaya encim.
Detail bordir menggantikan kancing. Wastra di tangannya adalah puisi yang dijahit rapi, setiap helai bercerita tentang anggun dan kuatnya perempuan Indonesia. Ia tak hanya membuat kebaya, tapi juga pernyataan.
Obin bercerita, wastra harus bisa bergerak, menyapa setiap generasi, tanpa kehilangan jiwa. Kebayanya tampil dalam warna-warna segar seperti fuchsia, kuning, dan hijau, membuat kutubaru tetap eksis di panggung mode. Ia menunjukkan, berkebaya dan berkain bisa tetap menyenangkan.
Dialektika Tiga Penggagas
Sehari sebelumnya, JFW mengusung konsep dialektika. Cita Tenun Indonesia menggandeng tiga desainer: Oscar Lawalata Culture, fbudi, dan Era Soekamto. Mereka menghadirkan interpretasi tenun dalam tiga tahap: tesis, antitesis, sintesis.
Oscar Lawalata membuka dialektika pertama, mengolah tenun songket Halaban dari Sumatera Barat menjadi busana siap pakai. Di sini, songket berwarna pastel mendominasi, memberi kelembutan pada kain yang biasanya kaya warna.
Model melenggok dengan potongan rumbai besar yang terinspirasi kebaya. Setiap potongan punya peran, membawa tenun ke busana keseharian.
Felicia Budi melalui jenama fbudi hadir dalam dialektika kedua. Ia membawa tenun Sobi Muna dari Sulawesi Tenggara ke dunia streetwear. Desainnya berani, warna-warna vibran dan pola asimetris mengingatkan pada permainan tetris.
Tenun ini, katanya, “cocok untuk anak muda, bisa dipakai siapa saja.” Dari blazer, celana pendek, hingga gaun santai. Streetwear ini akrab, serasa dekat, seperti teman lama yang kembali dengan sentuhan baru.
Dialektika ketiga hadir melalui Era Soekamto. Ia memadukan tenun cual Sambas dan batik Jawa dalam koleksi “Pakerti.” Setiap helai adalah akulturasi, perpaduan budaya Melayu dan Jawa yang sarat makna. Tenun cual ini bukan sekadar kain, tapi simbol kehormatan, martabat, dan status sosial.
Era menyematkan energi maskulin dalam desain feminin, menunjukkan bahwa kecantikan bukan hanya soal rupa. Ia adalah soal kehormatan, soal budi pekerti.
Di ujung peragaan, busana-busana tersebut memberi pesan: budaya bukanlah fosil, ia hidup, ia bernafas. Setiap detail, dari bordir hingga potongan, dari warna hingga material, berbicara tentang jati diri. Jakarta Fashion Week 2025 bukan hanya pertunjukan mode, tetapi panggung bagi para desainer untuk menunjukkan bahwa wastra Indonesia adalah pusaka yang bisa bertahan. Menyulam masa lalu, merajut masa depan. (*)
Tinggalkan Balasan