banner 600x50

Di tengah lautan informasi, tulisan kita bagaikan butiran pasir. Berapa banyak yang bisa diambil? Benarkah tulisan kita dibaca? Atau hanya sekadar di-scan oleh mata yang sibuk?

Oleh: Edy Basri (Pemred Katasulsel.com)

SETIAP hari, jutaan artikel muncul, layaknya dedaunan yang rontok di musim hujan. Berita, opini, fitur—semua berdesakan mencari perhatian.

Namun, di balik hiruk-pikuk ini, satu pertanyaan menggantung: apakah tulisan kita benar-benar dinikmati, atau sekadar tersingkir dalam arus deras?

Survei menunjukkan, lebih dari 70% pembaca hanya menyimak judul. Judul adalah pintu masuk, tetapi sedikit yang melangkah lebih jauh.

Ini adalah ironi di tengah derasnya arus informasi. Di mana tulisan kita seharusnya berkilau, banyak yang justru tenggelam.

Media online bukan tren biasa. Ini adalah fenomena global. Banyak penulis berjuang menyusun kata-kata, berusaha tampil berbeda.

banner 250x250

Mereka ingin membuat pembaca berhenti dan merenung. Namun, dengan banyaknya pilihan, mengapa banyak yang terabaikan?

Distraksi ada di mana-mana. Notifikasi, pop-up, semua merebut perhatian kita. Ini bukan hanya masalah penulis; ini tantangan bagi siapa pun yang ingin berbagi informasi.

Kita dituntut untuk menghasilkan konten setiap detik. Di satu sisi, kuantitas mendesak; di sisi lain, kualitas tak boleh dilupakan.

Tulisan yang baik mampu memikat, menggugah emosi. Jika tidak, pembaca akan pergi tanpa jejak.

Tulisan yang sukses menciptakan koneksi. Di sinilah kekuatan media online.

Dengan media sosial, kita bisa berinteraksi langsung dengan pembaca. Komentar, like, share—semua adalah jembatan untuk berkomunikasi. Pembaca kini bukan hanya konsumen, tetapi juga partisipan.

Namun, kritik adalah pedang bermata dua. Ini bisa jadi alat untuk memperbaiki diri. Menghargai masukan pembaca adalah langkah awal untuk meningkatkan kualitas.

Dengan mendengar, kita memahami selera mereka dan menciptakan konten yang lebih relevan.

Kembali pada pertanyaan awal: apakah tulisan kita benar-benar dibaca? Jawabannya ada di tangan kita.

Setiap penulis memiliki tanggung jawab untuk menyajikan tulisan yang layak dibaca—dari gaya bahasa hingga penyampaian pesan.

Ketika kita menulis, kita membangun jembatan. Jika kita mampu membuatnya kokoh, tulisan kita akan dibaca. Jika tidak, tulisan kita hanyalah lembaran yang terabaikan.

Menjamurnya media online adalah berkah sekaligus tantangan. Di tengah persaingan ketat, kita harus menciptakan karya yang bukan hanya dibaca, tetapi juga dirasakan. Kualitas dan keterhubungan adalah kunci untuk meraih perhatian pembaca.

Jadi, mari kita bertanya: haruskah kita menghantam agar tulisan kita dibaca? Jawabannya, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan keahlian. Bukankah kekerasan hanya ‘menghacurkan’?

Dengan memahami dan menggerakkan hati, semoga kita bisa menjawab: Ya, tulisan kita benar-benar dibaca! (*)