Di studio kecil itu, Bu Nita (Istri H. Mashur) tak hanya berbagi cerita cinta, tetapi juga visi pemberdayaan perempuan dan mimpi tentang Sidrap.
SENIN malam, 4 November 2024. Lampu sorot memeluk wajah Bu Nita yang duduk di studio podcast Katasulsel.com. Ia mengenakan blouse berpola yang dipadu turban berliuk di kepala, tampil tenang dengan senyum tipis.
Di seberang meja, Edy Basri—host podcast ini—tengah asyik berbincang, menyelami kisah hidup dan pandangan seorang istri calon Bupati Sidrap, yang punya sejarah panjang di dunia jurnalistik dan penyiaran.
Episode kali ini mengalir hangat. Hingga tiba-tiba, suara dering memecah kesunyian studio. Telepon masuk ke ponsel Edy. Itu dia, Pan, pendengar setia yang kerap muncul dengan pertanyaan-pertanyaan tak terduga.
Kali ini, Pan punya permintaan khusus. Ia meminta Edy menanyakan bagaimana pertama kali Bu Nita bertemu H. Mashur, pria yang kini mendampinginya dan melangkah di panggung politik Sidrap.
Edy tak ragu. Pertanyaan dilempar. Senyum Bu Nita kian melebar, matanya menerawang, mengenang masa-masa awal. Ia berkisah, “Pertama kali ketemu itu di acara besar. H. Mashur yang jadi ketua panitianya.
Waktu itu saya masih aktif sebagai reporter tv di Jakarta. Izin minta wawancara narasumber, eh malah ditolak. ‘Saya aja,’ katanya.” Sebuah awal yang tak diduga, yang akhirnya berlanjut pada percakapan telepon, dan lalu—pacaran.
Edy tersenyum, melirik jam, seolah tak ingin waktu habis. Ia menggali lagi, “Bagaimana mendampingi calon Bupati?”
“Biasa aja…” jawab Bu Nita singkat, meski ada rona kebanggaan di balik kata-katanya. Ketika ditanya momen paling berkesan, ia terdiam sesaat, lalu menyebut satu hal yang membuatnya tersentuh.
“Selama kampanye, suami saya tak pernah lupa menyapa saya di akhir acara. Bahkan, saya diberi kesempatan menjelaskan peran yang harus diemban sebagai Ketua TP PKK jika terpilih nanti.”
Bu Nita pun berbagi banyak ide soal program pemberdayaan perempuan. Tak hanya satu-dua konsep, ia punya rencana matang. Dari pelatihan keterampilan hingga akses ke dunia kerja. Ia percaya, perempuan yang kuat adalah pilar masyarakat yang tangguh.
Edy tak hanya berhenti di situ. Ia mengangkat gaya casual H. Mashur dan H. Nasiyanto saat debat publik pertama belum lama ini. Jaket santai nan milenial itu ‘mencuri’ perhatian publik, beda dari biasanya.
Siapa sangka, itu adalah ide Bu Nita sendiri. “Supaya lebih dekat dengan generasi muda,” ujarnya.
Podcast ini berlangsung empat episode, masing-masing sepuluh menit. Edy, yang tahu betul latar Bu Nita sebagai mantan reporter senior, memandu acara dengan tenang. Membawa audiens menyelam di antara nostalgia dan impian masa depan. Sementara Bu Nita? Ia membuktikan bahwa ia tak sekadar istri kandidat, tetapi juga seorang pendamping yang punya visi.
Kisah Bu Nita di episode ini semakin hidup. Ia bukan hanya duduk di kursi tamu, tapi juga memainkan peran penting di balik layar—di belakang setiap langkah H. Mashur. Ia tak hanya mendampingi, tapi menjadi bagian dari mimpi yang tengah dibangun.
Suasana studio terasa akrab, hangat. Edy menggali lebih dalam, ingin tahu pandangan Bu Nita soal perannya di tengah sorotan. Sebagai istri calon bupati, bagaimana ia menjaga keseimbangan antara mendukung suami dan tetap menjadi dirinya sendiri?
Bu Nita tersenyum, seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. “Saya tetap Bu Nita yang dulu, yang mandiri, yang pernah jadi reporter, yang tahu apa yang saya mau.” Baginya, mendukung suami adalah tugasnya, tapi ia tak ingin melebur dan hilang identitas. Justru, ia ingin menjadi suara bagi perempuan lain di Sidrap, yang mungkin tak punya kesempatan bicara.
Sebagai mantan jurnalis, Bu Nita paham pentingnya peran media. Dari layar kaca hingga frekuensi radio, ia tahu bagaimana mengemas pesan, membangun cerita, dan memengaruhi persepsi publik.
Pengalamannya sebagai reporter Voice of America hingga Direktur di PT Panca Komunikasi membuatnya tangguh, berani berbicara, dan tak gentar menghadapi sorotan. Kini, ia membawa kemampuan itu untuk mendukung langkah besar H. Mashur.
Edy pun tak ingin melewatkan momen ini tanpa membahas program unggulan Bu Nita. Sebuah program yang telah lama dipikirkannya untuk Sidrap, terutama bagi kaum perempuan.
Ia menyebut pemberdayaan perempuan sebagai fokus utamanya. “Kita tidak hanya bicara soal ekonomi, tapi juga pendidikan, kesehatan, dan keterampilan. Saya ingin semua perempuan di Sidrap punya kesempatan yang sama untuk berkembang,” ujarnya dengan penuh semangat.
Bu Nita tahu betul, jika suaminya terpilih, ia akan punya posisi strategis sebagai Ketua TP PKK. Tapi baginya, itu bukan soal posisi. Itu soal pengabdian. Tentang bagaimana ia bisa memberikan lebih banyak manfaat, membawa perubahan nyata.
Malam itu, podcast episode terakhir pun berakhir. Lampu studio perlahan meredup, meninggalkan kesan hangat di hati para pendengar. Bu Nita tak hanya bicara tentang masa lalu, tetapi juga tentang harapan. Tentang Sidrap yang lebih baik, Sidrap yang inklusif, Sidrap yang melihat perempuan sebagai kekuatan.
Di penghujung acara, Edy berterima kasih. “Terima kasih sudah berbagi, Bu Nita. Rasanya seperti membaca cerita hidup yang penuh warna.”
Bu Nita tersenyum, mengangguk, lalu berkata, “Kita semua bisa jadi cerita. Tergantung bagaimana kita menulisnya.”
Dan malam itu, sebuah cerita baru telah ditulis. Di dalam ruangan sederhana Katasulsel.com, dalam sorotan cahaya dan gemerisik mikrofon, Bu Nita membawa harapan—untuk dirinya, untuk H. Mashur, dan untuk Sidrap.
Lalu, diakhir — Edy menekankan jika podcast katasulsel tersebut adalah milik semua kalangan. “Siapapun boleh datang, siapa pun bisa menjadi bintang tamu,” tuturnya, mengisyaratkan bahwa nilai-nilai indepensi senantiasa ia utamakan sesuai mottonya, bijak tak berpihak.(*)
Tinggalkan Balasan