Abd Muin L.O., jurnalis senior asal Sidrap, kini tinggal di rumah baru di Makassar, tempat di mana sejarah hidup dan perjalanan kariernya bertemu dengan harapan baru.
Oleh: Edy Basri
SIANG itu, Jumat, 8 November 2024. Saya berdiri di depan pintu rumah yang cukup mewah, minimalis, dengan desain modern yang bersahaja.
Kompleks Bumi Permata Hijau, Kota Makassar, adalah tempat di mana seorang jurnalis senior yang telah menapaki banyak tangga karier kini menetap.
Abd Muin L.O., nama yang bagi saya begitu besar dalam dunia jurnalisme Sulawesi Selatan, kini menatap kehidupan dengan kebanggaan—juga ketenangan.
Seperti banyak orang, saya selalu membayangkan rumah besar itu penuh dengan tawa, kebahagiaan, dan mungkin sedikit aroma kesuksesan. Namun, saat kaki saya melangkah masuk, saya langsung merasakan ada sesuatu yang berbeda.
Rumah ini adalah rumah yang ditunggu-tunggu. Rumah yang telah lama dinanti, setelah bertahun-tahun Abd Muin dan keluarganya “hijrah” dari Sidrap ke Makassar.
Ini adalah simbol dari perjalanan panjang, kerja keras, dan dedikasi. Saya, Edy Basri, yang dulu hanya seorang jurnalis junior di Harian Fajar, kini berdiri di depan rumah seorang mentor—seorang jurnalis yang saya kagumi.
Hari itu, saya bersama teman sesama jurnalis dari katasulsel.com, Tipoe Sultan, datang berkunjung.
Pintu terbuka, dan saya disambut dengan hangat oleh Muin. Suasana rumah yang tenang terasa hangat, seperti sambutan yang penuh rasa hormat.
Satpam dengan sigap menjaga kompleks ini, menciptakan suasana yang elit namun nyaman. Rumah ini, meskipun besar, tetap terasa sederhana, tidak berlebihan, persis seperti kepribadian Muin.
Lalu kami duduk bersama di ruang tamu yang terang, berbincang tentang perjalanan hidup, dunia jurnalisme, dan juga perkembangan keluarga kami masing-masing.
Namun, di balik suasana yang nyaman itu, ada cerita yang membuat hati saya terenyuh. Muin, yang biasa kami kenal dengan semangatnya yang tak kenal lelah, kini terlihat sedikit lebih tenang.
Mata tuanya yang tajam itu menyimpan kepedihan yang sulit untuk disembunyikan. Istrinya, Nurhayati Muin, mantan jurnalis Berita Kota Makassar (BKM), sedang terbaring sakit.
Sarafnya terjepit, dan vertigo membuatnya tak bisa bergerak dengan leluasa. “Sudah sekian lama ini tidak bisa gerak,” kata Muin dengan suara yang penuh keprihatinan.
Saya terdiam sejenak. Tak ada lagi tawa riang yang biasa mengisi rumah itu. Hikmah, anak sulung mereka yang lebih banyak dikenal jebolan artis KDI, kebetulan sedang berada di Jakarta untuk urusan pekerjaan. Maklum, Imma– begitu saya akrab menyapanya kini telah sibuk dengan kesehariannya bekerja di salah satu bank ternama.
Adiknya, Ucy- si anak bungsu, kini sudah beranjak dewasa, begitu pun dengan Awal, sang kakak, juga mulai memasuki masa remaja.
Semuanya sedang tumbuh, begitu juga dengan rumah ini—rumah yang tidak hanya dibangun dari batu dan semen, tapi juga dari cerita hidup yang penuh warna.
Bagi saya, kunjungan ini bukan sekadar berbicara tentang kemewahan rumah atau pencapaian dalam karier.
Ini adalah tentang kehidupan, yang meskipun penuh dengan suka dan duka, selalu punya cara untuk terus bergerak maju.
Muin telah menunjukkan pada saya, bahwa dalam setiap langkah besar yang kita ambil, ada kisah yang tak selalu tampak oleh mata orang lain.
“Rumah ini bukan hanya tentang materi,” kata Muin pelan, “Ini adalah tempat di mana kami bisa tetap bersama. Di balik setiap sudut, ada doa dan harapan yang tak pernah putus.”
Saya mengangguk, sambil memandang rumah yang bagi saya adalah simbol kesederhanaan dan kebesaran jiwa.
Ada kebahagiaan dalam setiap detil rumah ini, meski tidak semua cerita bisa dirayakan dengan senyum. Rumah besar ini, dengan segala kehangatannya, tak hanya menyimpan kenangan.
Ia juga tempat untuk merawat harapan—seperti Muin yang tetap setia menjaga keluarganya, meski dalam kesedihan.
Dalam perjalanan pulang, saya merasa lebih dekat dengan dunia yang penuh warna ini. Jurnalis seperti Muin bukan hanya mengajarkan cara menulis, tetapi juga tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan penuh kesabaran.
Sebuah rumah baru, yang meskipun terlihat sempurna, tetap mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya soal apa yang kita capai, tapi juga tentang bagaimana kita tetap bertahan di tengah segala tantangan.(*)
Tinggalkan Balasan