banner 600x50

Langit New York menghamparkan cerita. Gedung-gedung pencakar langit menjulang seperti pena yang menuliskan babak-babak baru dunia.

Oleh: M. Saleh Mude
Mahasiswa PhD di Hartford, CT, US

HARI itu, Jumat, 22 November 2024, saya bersama keluarga dan 12 mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta, sedang berada di episentrum diplomasi global, Gedung PBB. Perjalanan ini bukan sekadar tur; ia adalah ziarah peradaban.

Pagi kami dimulai di Burke Library, Union Theological Seminary. Sejarah terukir dalam koleksi Al-Qur’an yang kami lihat—kitab yang menjadi saksi perjalanan spiritual umat manusia. Ali Hameed, pemandu kami, membawa kami menelusuri jejak pengetahuan, termasuk karya Seyyed Hossein Nasr yang diukir dalam nafas zaman pemerintahan Syiah.

Setelah itu, perjalanan berlanjut ke Gedung PTRI Indonesia di kawasan Manhattan. Kami bertemu Pak Hari Prabowo, Pelaksana Tugas PTRI. Dengan nada hangat, beliau menyambut, “Posisi kami di sini sederajat dengan Duta Besar. Kami mewakili Indonesia dalam diplomasi politik global.” Diplomasi, katanya, adalah seni berbicara di panggung dunia, menjaga kepentingan bangsa di tengah arus deras geopolitik.

Dalam suasana yang akrab, kami mendengar cerita perjuangan diplomasi Indonesia, dari Agus Salim hingga Sumitro Djojohadikusumo. “Indonesia berdiri paling depan untuk Palestina,” tegas Pak Hari, menyiratkan komitmen yang tak pernah goyah.

banner 250x250

Namun, momen paling berkesan datang saat kami melangkah ke Gedung PBB. Setelah pemeriksaan ketat, kami memasuki ruang sidang utama. Balkon tempat kami berdiri seolah memberi perspektif baru—sebuah pandangan dari atas, melihat bagaimana dunia ini dirancang untuk saling berbicara.

Di ruang “Indonesia-Qatar Lounge,” sejarah dan budaya menyatu dalam harmoni. Patung kayu dari Indonesia berdampingan dengan karpet Iran dan kaligrafi Arab Saudi, sebuah metafora akan kerja sama lintas bangsa.

Saat tangan saya memegang t-shirt abu-abu berlogo PBB di toko merchandise, saya merenung. Ini bukan sekadar pakaian; ini adalah simbol mimpi yang terus hidup—mimpi tentang dunia yang lebih adil dan damai, sebuah visi yang dipancarkan dari gedung ini ke seluruh penjuru bumi.

Perjalanan kami belum selesai. Esok hari, mahasiswa-mahasiswa ini akan berdiri di depan Patung Liberty, simbol kebebasan. Mereka juga akan bersujud di Masjid Al-Hikmah, menyatukan spiritualitas dengan dunia modern.

Hari itu, saya belajar bahwa diplomasi bukan sekadar pertemuan di ruang-ruang mewah. Ia adalah perjuangan yang bersandar pada nilai-nilai. Dan seperti langit New York yang tak berbatas, impian Indonesia untuk terus berkontribusi di panggung global pun tak pernah surut.

Ketika senja menutup hari, saya termenung di apartemen PTRI. Dalam keheningan, pikiran saya melayang ke mahasiswa-mahasiswa yang menemani perjalanan ini. Mereka bukan sekadar peserta short course, melainkan tunas harapan. Program PKU-MI yang mereka jalani adalah investasi jangka panjang untuk melahirkan ulama-ulama berwawasan global—pemimpin yang memahami Al-Qur’an sekaligus kompleksitas dunia modern.