banner 600x50

Makassar, Katasulsel.com — Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Agus Salim, bersama jajaran petinggi Kejati Sulsel, sukses menggelar ekspose permohonan Restorative Justice (RJ) untuk tiga kasus hukum dari Luwu Timur, Wajo, dan Enrekang pada Selasa (17/12/2024). Namun, yang mencuri perhatian adalah kasus dari Enrekang — sebuah kisah penganiayaan yang berakar dari aksi balas dendam pemuda yang akhirnya menemukan solusi damai.

Insiden yang menghebohkan ini bermula pada Kamis, 9 Mei 2024. Di Jalan Poros Anggeraja Baraka, Desa Saruan, Kabupaten Enrekang, seorang pemuda bernama Sarif Hidayatullah (23) menghadang motor yang dikendarai korban, MAH (17). Dengan motif balas dendam, Sarif melempar batu yang mengenai kepala belakang MAH, sebelum korban melarikan diri ke perkampungan terdekat.

Rupanya, aksi ini bukan sekadar tindak kekerasan biasa. Ini adalah bagian dari konflik yang telah lama membara antara kelompok pemuda Kelurahan Baraka dan Balla. Perseteruan yang kerap berujung bentrokan akhirnya menyeret Sarif ke dalam proses hukum dengan sangkaan melanggar UU Perlindungan Anak dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Menyikapi dinamika kasus ini, Kejari Enrekang mengambil langkah strategis dengan mengajukan permohonan RJ. Dalam proses tersebut, tokoh masyarakat, agama, dan pemuda dari kedua belah pihak — Baraka dan Balla — diundang untuk bermusyawarah demi mencari solusi terbaik. Hasilnya, perdamaian akhirnya tercapai.

“Kami mempedomani Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Setelah permohonan ini kami setujui, tersangka akan dibebaskan dan barang bukti dikembalikan,” ujar Agus Salim saat memimpin ekspose di aula lantai 2 Kejati Sulsel….Bersambung ke hal 2

ADVERTORIAL

Advertorial: UNIPOL

Kasus ini menjadi sorotan karena keberhasilannya mendamaikan dua kelompok pemuda yang selama ini terlibat konflik. Restorative Justice tidak hanya memberikan penyelesaian hukum, tetapi juga memperbaiki hubungan sosial yang rusak.

“Proses ini melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa perdamaian bukan hanya formalitas, tetapi sungguh-sungguh menyentuh hati kedua belah pihak,” ungkap Kepala Kejari Enrekang.

MAH, sebagai korban, telah memaafkan Sarif, sementara keluarga dan tokoh masyarakat menyepakati kesepakatan damai dengan komitmen untuk mencegah konflik serupa di masa depan.

Di tengah derasnya kritik terhadap pendekatan RJ yang dianggap terlalu lunak untuk kasus-kasus serius, langkah Kejari Enrekang membuktikan sebaliknya. Konflik yang kerap berujung dendam hanya akan memperburuk situasi. Solusi damai yang dicapai memberikan pelajaran penting bagi masyarakat Enrekang dan sekitarnya.(*)