Nama Dais Labanci mungkin tak asing bagi mereka yang tumbuh besar di era kejayaan media cetak di Sulawesi Selatan. Sosoknya dikenal luas sebagai wartawan senior, malang melintang di berbagai media besar, seperti Pedoman Rakyat dan Harian Fajar.
Laporan: Edy Basri (Pemred Katasulsel.com)
MESKI usianya tak lagi muda dan kariernya sudah jauh bergeser, jiwa jurnalistik Dais tetap menyala.
Dalam sebuah wawancara santai di podcast katasulsel.com yang saya pandu, Rabu, 29 Januari 2025, sore, Dais berbagi kisah hidupnya yang penuh warna serta pandangannya tentang dunia jurnalistik yang telah berubah drastis dari masa ke masa.
Saya mengundangnya secara khusus. Adapun tema perbincangannya, yakni “Jurnalis Dua Zaman”.
Dais Labanci memulai karier jurnalistiknya di era 1970-an, sebuah masa di mana dunia pers masih sangat bergantung pada media cetak. Saya juga masih kecil saat itu, hee..
Kala itu, menjadi seorang wartawan bukan hanya soal menulis berita, tetapi juga soal keberanian dan integritas. Dais mengenang bagaimana ia harus menempuh perjalanan jauh dengan sepeda motor untuk meliput peristiwa di daerah-daerah pelosok Sulawesi Selatan.
“Belum ada internet, belum ada ponsel. Kalau mau kirim berita, saya harus mengetik naskah di mesin tik, lalu mengirimnya lewat pos atau langsung menyerahkannya ke kantor redaksi,” kenangnya dengan senyum tipis.
Selain menjadi reporter, Dais juga pernah memimpin media cetak dan online bernama Metro Lacak. Kebetulan, saya mantan juga mantan redakturnya.
Di bawah kepemimpinannya, media tersebut sempat dikenal kritis dan tajam dalam mengungkap berbagai isu sosial dan politik di daerah.
Bersambung…
“Saya selalu percaya bahwa jurnalis adalah penjaga nurani masyarakat. Tugas kita adalah menyampaikan kebenaran, meskipun terkadang itu membuat kita tidak disukai,” ujarnya.
Namun, seiring waktu, Dais merasa bahwa peran media mulai berubah. Ia menyayangkan bahwa banyak jurnalis muda saat ini lebih mementingkan kecepatan dibandingkan akurasi.
“Dulu, kami bisa menghabiskan berhari-hari untuk meneliti sebuah berita sebelum diterbitkan. Sekarang, semuanya serba instan. Kadang saya heran, kok bisa zaman berkembang seperti ini,” katanya dengan nada prihatin.
Setelah puluhan tahun berkecimpung di dunia jurnalistik, Dais memutuskan untuk mencoba tantangan baru.
Ia terjun ke dunia politik dan berhasil menjadi anggota DPRD di daerahnya, Sidrap, Sulawesi Selatan.
Namun, karier politiknya tidak membuatnya melupakan akar jurnalistiknya. “Di DPRD, saya sering merasa seperti wartawan juga. Saya selalu mencari fakta dan mendengarkan aspirasi masyarakat,” ungkapnya.
Kini, Dais menjabat sebagai Kepala Desa di salah satu wilayah di Sidrap.
Meski perannya telah berubah, ia tetap membawa semangat jurnalistik dalam setiap kebijakannya.
“Sebagai kepala desa, saya merasa seperti pemimpin redaksi. Saya harus memastikan semua informasi yang saya terima itu benar sebelum membuat keputusan,” jelasnya sambil tertawa kecil.
Dalam podcast katasulsel.com, Dais juga membahas perbedaan besar antara dunia jurnalistik di masa lalu dan sekarang.
Ia mengaku takjub sekaligus prihatin melihat kemajuan teknologi yang telah mengubah cara kerja jurnalis secara signifikan.
Bersambung….
“Dulu kami bekerja dengan mesin tik dan kamera analog. Sekarang semuanya sudah digital. Bahkan orang awam pun bisa jadi ‘jurnalis’ hanya dengan ponsel mereka,” katanya, sedikit penyindir yang suka mengandalkan Chat GPT saat menulis berita.
Dais menyoroti bahwa meski teknologi telah mempermudah banyak hal, ada nilai-nilai dalam jurnalistik yang mulai terkikis.
“Di masa saya, jurnalis itu benar-benar mendalami kode etik. Kami tidak hanya mencari berita untuk sensasi, tapi untuk mendidik masyarakat.
Sekarang? Banyak berita yang hanya mengejar klik dan viralitas,” ujarnya dengan nada kecewa.
Namun demikian, Dais tetap optimis terhadap generasi muda jurnalis saat ini. Ia percaya bahwa masih ada banyak wartawan muda yang memiliki idealisme tinggi dan semangat untuk mencari kebenaran.
“Tugas kita sebagai senior adalah membimbing mereka agar tidak kehilangan arah,” katanya.
Di akhir perbincangan. Dais memberikan pesan penting bagi para jurnalis muda.
Ia menekankan bahwa menjadi seorang wartawan bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa.
“Jangan pernah lelah mencari kebenaran. Jangan tergoda oleh kemudahan teknologi atau tekanan pasar. Ingatlah bahwa tugas utama jurnalis adalah melayani masyarakat dengan informasi yang akurat dan berimbang,” pesannya.
Meski kini lebih banyak menghabiskan waktu sebagai kepala desa, Dais Labanci tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Perjalanan hidupnya membuktikan bahwa seorang jurnalis sejati tidak pernah benar-benar pensiun dari tugasnya untuk mencari kebenaran dan menyuarakan suara rakyat.
Bersambung…
Dais mungkin telah meninggalkan dunia pers secara formal, tetapi semangat jurnalistiknya akan terus hidup dalam setiap langkah dan keputusan yang ia ambil—baik sebagai pemimpin komunitas maupun sebagai pribadi yang selalu setia pada integritas dan kebenaran.
Sip, Oke. Terimakasih sudah membaca artikel ini. Sehat selalu Pak Dais, semoga kami semua para jurnalis dapat mengikuti jejak manismu. (*)
- Berita Sulsel
- Dais Labanci
- Dari media ke desa
- dunia jurnalistik
- Era Digital
- Jurnalis senior
- Jurnalis tangguh
- Kepala Desa
- Kisah kepemimpinan
- Kisah nyata
- Kisah wartawan
- Media cetak
- Pemimpin bijak
- Pemimpin inspiratif
- Pemimpin merakyat
- Pengabdian desa
- Perjalanan hidup
- Perubahan zaman
- Sidrap hari ini
- Sidrap viral
- Sosok berpengaruh
- Sosok Inspiratif
- Sulsel terkini
- Tokoh Sidrap
- Tokoh Sulsel
- Transformasi karier
- Wartawan berpengaruh
- Wartawan legenda
- Wartawan politik
- Wartawan Sidrap
Tinggalkan Balasan