banner 600x50

Bombana, katasulsel.com — Maraknya isu premanisme yang terjadi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, telah memantik perhatian luas.

Kejadian yang terekam dalam sebuah video memperlihatkan seorang pria berpenampilan preman dengan rambut dikuncir dan memegang parang mendatangi kantor Bupati pada Kamis, 30 Januari 2025.

Aksi ini tidak hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum (APH), khususnya Kapolres Bombana, yang dinilai lamban dalam merespons.

Dalam video tersebut, pelaku terlihat mengancam Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) berinisial DI sambil mondar-mandir di kantor keuangan.

Aksi ini tidak mendapatkan teguran atau tindakan hukum dari pihak berwenang.

Hal ini memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan jurnalis setempat, yang menilai ada pembiaran oleh aparat keamanan.

Yusup, seorang jurnalis provinsi Sulawesi Tenggara, menyatakan bahwa tindakan tegas sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya insiden serupa.

Ia menekankan pentingnya penerapan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Jika tidak ada sanksi hukum, aksi demo berikutnya bisa saja dilakukan dengan membawa senjata tajam karena sudah ada preseden,” tegas Yusup.

Yusup juga menyoroti pentingnya integritas kepala desa sebagai pemimpin lokal. Menurutnya, kepala desa harus menjadi teladan dan bertanggung jawab terhadap penggunaan anggaran desa.

“Seorang kepala desa harus sadar diri dan mawas diri. Jika dia menyalahgunakan anggaran, apakah wajar jika masyarakat mendemo dengan parang?” ujarnya.

Insiden ini membuka ruang diskusi yang luas di masyarakat, memunculkan berbagai opini yang pro dan kontra.

Sebagian pihak menilai bahwa aksi tersebut mencerminkan lemahnya penegakan hukum, sementara yang lain menganggap kejadian ini sebagai cerminan dari dinamika sosial-politik di Bombana yang sedang berada dalam masa transisi kepemimpinan.

Lanjut…

Dari perspektif sosiologis, fenomena ini menunjukkan adanya potensi eskalasi konflik jika hukum tidak ditegakkan secara konsisten. Ketidakpastian hukum dapat memicu aksi-aksi serupa yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial.

Dalam konteks psikologi massa, aksi premanisme seperti ini dapat menjadi contoh buruk bagi masyarakat, terutama generasi muda.

Masyarakat berharap aparat penegak hukum dapat bertindak tegas dan adil dalam menangani kasus ini. Keamanan, ketertiban, dan keadilan harus menjadi prioritas utama dalam menjaga stabilitas daerah.

Tanpa tindakan tegas, kepercayaan publik terhadap institusi hukum dapat semakin terkikis.

Peristiwa ini menjadi pengingat pentingnya supremasi hukum sebagai fondasi kehidupan bermasyarakat.

Aparat keamanan diharapkan tidak hanya menjadi pelaksana hukum, tetapi juga simbol keadilan yang mampu melindungi hak-hak warga negara tanpa pandang bulu.(*)

Laporan: Queto Agatha