Kisah Belasan Honorer Satpol PP dan Damkar Wajo Terpaksa Dirumahkan Akibat UU ASN

Foto ilustrasi honorer

Wajo, Katasulsel.com — Ketika roda pemerintahan berputar sesuai regulasi, mereka yang berada di pinggiran harus siap menerima dampaknya.

Sebanyak 15 tenaga honorer di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar), dan Penyelamatan Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, harus menerima kenyataan pahit, mereka ‘terpaksa’ dirumahkan.

Keputusan ini, menjadi imbas dari ketidakselarasan data administrasi kepegawaian dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Keputusan tersebut, menurut Suherman, Sekretaris Satpol PP, Damkar, dan Penyelamatan Kabupaten Wajo, adalah tindak lanjut dari implementasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) Nomor 20 Tahun 2023.

Dalam regulasi itu, pemerintah secara tegas melarang pengangkatan tenaga honorer atau kontrak sejak Januari 2025, kecuali mereka yang telah tercatat dalam pangkalan data BKN.

“Ini sudah aturan nasional. Untuk sementara, mereka harus kami rumahkan karena namanya tidak terdaftar di BKN,” ujar Suherman.

Keputusan ini bukan hanya menggambarkan ketegasan aturan, tetapi juga menyiratkan ironi.

Di satu sisi, pemerintah berupaya menata administrasi kepegawaian agar lebih terstruktur dan akuntabel.

Namun di sisi lain, mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi sebagai honorer justru harus menelan pil pahit akibat ketidakselarasan data.

Bersambung….

Seperti kapal yang kehilangan jangkar di tengah badai, para honorer kini terombang-ambing tanpa kepastian.

Mereka yang selama ini menjadi garda terdepan dalam tugas-tugas operasional, terutama di sektor pemadam kebakaran dan penegakan peraturan daerah, kini terpaksa menepi.

“Hal ini tidak hanya terjadi di Wajo, tetapi juga di seluruh instansi pemerintahan di Indonesia. Kami hanya melaksanakan aturan yang sudah ditetapkan,” tambah Suherman.

Keputusan ini, tentu saja membawa dampak besar, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga psikologis bagi para tenaga honorer yang dirumahkan.

Sebagian besar dari mereka menggantungkan hidup pada pekerjaan ini. Kini, tanpa kejelasan nasib, mereka harus mencari alternatif lain untuk menyambung hidup.

“Mudah-mudahan pemerintah bisa memberikan kebijakan lain terkait dengan masalah ini. Kita berharap ke depannya ada jalan,” harap Suherman.

Pernyataan ini seolah menjadi secercah harapan di tengah kabut ketidakpastian. Namun, harapan saja tidak cukup untuk mengisi piring makan mereka yang terdampak.

Honorer sering kali menjadi tulang punggung operasional di berbagai instansi pemerintahan.

Namun, posisi mereka kerap kali berada di persimpangan antara kebutuhan dan pengabaian.

Dalam konteks birokrasi, mereka adalah “pekerja bayangan” yang tidak sepenuhnya diakui dalam struktur formal, tetapi sangat diperlukan untuk memastikan roda pemerintahan tetap berjalan.

Bersambung….

Keputusan untuk merumahkan 15 tenaga honorer ini melibatkan beberapa personel dari berbagai daerah di Kabupaten Wajo:

  • Damkar Induk: 1 orang
  • Damkar Pitumpanua: 1 orang
  • Damkar Belawa: 2 orang
  • Damkar Majauleng: 4 orang
  • Damkar Bola: 3 orang
  • Satpol PP: 4 orang

Mereka bukan sekadar angka dalam laporan administrasi. Di balik setiap nama adalah cerita perjuangan dan pengabdian yang kini terhenti karena aturan yang lebih besar dari mereka.

Suherman menyebut bahwa pihaknya masih membuka kemungkinan untuk memanggil kembali para tenaga honorer yang dirumahkan jika ada kebijakan baru dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) atau BKN.

Namun, hingga saat ini belum ada sinyal konkret mengenai perubahan regulasi tersebut.

“Insya Allah akan kami panggil kembali jika ada kebijakan baru. Kami juga berharap pemerintah pusat dapat mempertimbangkan nasib para honorer ini,” ungkapnya kepada media.

Namun, apakah janji ini cukup untuk meredakan keresahan? Atau hanya menjadi angin lalu bagi mereka yang sudah kehilangan pijakan?

Keputusan ini mencerminkan tantangan besar dalam tata kelola kepegawaian di Indonesia.

Di satu sisi, pemerintah ingin menciptakan sistem administrasi yang lebih tertata melalui penyaringan data honorer di BKN.

Bersambung….

Namun di sisi lain, langkah ini tanpa disertai solusi transisi yang jelas justru menimbulkan keresahan sosial.

Seperti layang-layang yang terputus talinya, nasib para honorer kini bergantung pada arah angin kebijakan pemerintah pusat.

Pertanyaannya adalah: apakah angin tersebut akan membawa mereka kembali ke tempat semula atau justru menerbangkan mereka semakin jauh dari harapan?

Dalam dunia pemerintahan, istilah seperti “efisiensi birokrasi” atau “penataan kepegawaian” kerap kali menjadi jargon yang indah di atas kertas.
Namun, implementasinya sering kali meninggalkan luka bagi mereka yang berada di garis bawah hierarki kekuasaan.

Kisah 15 honorer di Kabupaten Wajo ini bukan hanya tentang angka atau regulasi.

Ini adalah potret nyata bagaimana sebuah kebijakan dapat membawa dampak besar pada kehidupan individu-individu yang selama ini mengabdi tanpa tanda jasa.

Di tengah gelombang ketidakpastian ini, harapan masih menjadi satu-satunya pelita bagi para honorer yang dirumahkan.

Namun, harapan tanpa tindakan nyata dari pemerintah hanya akan menjadi bayangan semu yang perlahan memudar di tengah realitas yang keras.

Bersambung….

Pemerintah pusat dan daerah harus segera merumuskan solusi konkret untuk memastikan bahwa penataan administrasi kepegawaian tidak menjadi bumerang bagi mereka yang telah lama berjuang di bawah panji negara.

Sebab, pada akhirnya, sebuah kebijakan tidak hanya soal angka dan data, tetapi juga soal manusia dan kehidupan mereka.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version