Pinrang, katasulsel.com — Karmila, 20 tahun, terbaring lemah di atas sarung yang berubah fungsi jadi tandu darurat.
Tubuhnya digotong warga melintasi jalan tanah yang penuh lubang dan debu, menuju RSUD Massenrempulu Enrekang.
Di Desa Kaseralau, Pinrang, Sulawesi Selatan, ini adalah realitas yang sudah biasa. Jalan rusak parah membuat kendaraan roda empat tak bisa melintas.
Bukan pertama kali warga harus kreatif menghadapi situasi seperti ini.
Sarung yang biasanya jadi simbol kehangatan keluarga, kini menjadi penyelamat nyawa.
Karmila tak punya pilihan lain. Menuju Puskesmas Batulappa yang berjarak 30 kilometer terasa mustahil.
Jalannya lebih buruk, apalagi saat hujan. Enrekang jadi opsi lebih masuk akal, meski tetap harus ditandu.
Parman, salah satu warga, menyebut ini bukan kejadian baru. Sudah bertahun-tahun jalan di desa ini dibiarkan begitu saja.
Mobil? Jangan harap bisa lewat. Bahkan motor pun sering menyerah. “Iye, keluarga terpaksa tandu karena akses jalan rusak,” katanya singkat.
Bersambung…
Badaruddin, Kepala Desa Kaseralau, tidak menampik. Ia mengaku sudah lelah melaporkan kondisi ini ke berbagai pihak.
Setiap tahun, masalah jalan selalu masuk daftar usulan Musrembang. Tapi hasilnya nihil.
Dana desa terbatas, sementara APBD jarang menyentuh wilayah mereka. Paleleng, salah satu titik paling sulit dilewati, menjadi momok bagi warga setempat.
Musim hujan jadi musuh utama. Jalan berubah jadi kubangan lumpur yang dalam. Warga seperti terjebak di pulau kecil tanpa jembatan ke dunia luar.
Sakit? Harus siap mental dan fisik untuk perjalanan panjang yang penuh risiko.
Karmila akhirnya sampai di RSUD Enrekang setelah perjuangan panjang itu. Tapi kisahnya bukan hanya tentang seorang gadis yang sakit dan ditandu sarung.
Ini adalah potret kecil dari ribuan cerita serupa di pelosok negeri. Di tempat lain mungkin ada helikopter evakuasi atau ambulans canggih.
Di sini, sarung dan tenaga warga adalah segalanya.
Bersambung…
Desa Kaseralau bukan satu-satunya yang terpinggirkan oleh pembangunan. Tapi sampai kapan?
Jalan rusak bukan sekadar soal infrastruktur. Ini soal nyawa, soal harga diri manusia yang seharusnya tidak perlu bertaruh hanya untuk sekadar berobat.
Sarung mungkin simbol kehangatan budaya Bugis-Makassar. Tapi di sini, ia juga menjadi saksi bisu dari cerita panjang tentang ketidakadilan pembangunan.
Warga hanya bisa berharap, suatu hari nanti jalan itu tak lagi jadi penghalang antara mereka dan hak dasar mereka untuk hidup sehat.(*)
Tinggalkan Balasan