Konawe Selatan, Katasulsel.com — Sunyi di tepian Sungai Roraya, yang biasanya menjadi tempat menggantungkan harapan lewat hasil alam, mendadak berubah menjadi lokasi tragedi yang membekas di hati warga Desa Roraya, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan.
Seorang pria, Sara (49), ditemukan tak bernyawa setelah dua hari hilang diterkam buaya saat mencari pokea, kerang air tawar yang menjadi bagian dari denyut hidup masyarakat setempat.
Korban yang dikenal sebagai sosok pendiam dan pekerja keras itu, terakhir kali terlihat pada Sabtu siang (6/4/2025), sekitar pukul 13.00 Wita, sedang menyelam bersama istrinya di Sungai Roraya.
Siang itu, langit mendung dan arus air tenang—tak ada yang menyangka, petaka sedang mengintai dari balik permukaan.
“Saat itu, kami baru saja menyelam, belum sempat mengumpulkan banyak, tiba-tiba dia berteriak dan langsung hilang ditarik sesuatu,” ungkap sang istri dengan suara bergetar saat ditemui tim Katasulsel.
Panik melanda. Warga sekitar bersama keluarga korban sempat melakukan pencarian dengan peralatan seadanya. Namun buaya di Roraya dikenal gesit dan berbahaya, membuat pencarian menjadi tantangan tersendiri.
Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan (KPP) Kendari, Amiruddin, menyebut bahwa operasi SAR resmi dimulai setelah laporan diterima.
“Setelah pencarian intens selama dua hari, korban akhirnya ditemukan dalam kondisi meninggal dunia, Senin (7/4) pukul 13.10 Wita. Jasad ditemukan sekitar 1,91 kilometer dari lokasi kejadian awal,” ujar Amiruddin.

Jenazah Sara ditemukan mengarah ke muara sungai, tubuhnya sudah tak utuh, memperkuat dugaan kuat bahwa buaya masih berada di sekitar lokasi tersebut.
Operasi SAR yang melibatkan berbagai pihak seperti BPBD Konawe Selatan, Damkar, Balai TN Rawa Aopa Watumohai, Polsek Tinanggea, hingga relawan masyarakat, langsung ditutup setelah penemuan jenazah.
Buaya dan Tradisi: Kisah yang Belum Usai
Sungai Roraya bukan sekadar aliran air—ia adalah napas dan nadi warga setempat. Namun, seperti dua sisi mata uang, sungai ini juga menyimpan misteri dan bahaya. Menurut warga senior di Roraya, buaya bukanlah makhluk asing di perairan ini.
Lanjut…
“Buaya sudah lama jadi penghuni sungai ini. Tapi biasanya tak pernah menyerang jika tidak diganggu,” ujar Pak La Ode, tokoh masyarakat setempat. Ia menduga, kemungkinan habitat buaya terganggu oleh aktivitas manusia yang semakin intens.
Peristiwa ini bukan yang pertama. Data dari Balai Konservasi menyebutkan bahwa insiden serupa pernah terjadi beberapa tahun silam, meski tak selalu berujung maut. Namun tragedi Sara menjadi pengingat bahwa hidup berdampingan dengan alam butuh kehati-hatian ekstra.
Potret Ketabahan dan Kekhawatiran
Di balik tangis keluarga yang ditinggalkan, tragedi ini menyisakan pekerjaan rumah besar bagi pemangku kebijakan: bagaimana mengedukasi warga tentang mitigasi risiko di wilayah rawan predator, serta perlunya penataan wilayah eksplorasi hasil alam.
Lanjut…
Sementara itu, istri dan anak-anak Sara harus melanjutkan hidup dengan kehilangan yang tak tergantikan. “Dia hanya ingin mencari makan, bukan tantang maut,” ujar salah satu kerabatnya, menahan tangis.
Sara mungkin telah berpulang, namun kisahnya menggema sebagai suara hati masyarakat adat dan lokal yang hidup berdampingan dengan alam liar—penuh keindahan, namun juga penuh bahaya yang tak terduga.
Laporan: Asman Ode | Editor: Edy Basri