Katasulsel.com

Portal berita terpercaya yang mengulas Indonesia dari jantung Sulawesi Selatan. Aktual, tajam, dan penuh makna.

Hukum yang Membela Tanpa Pamrih, Itulah Hotma Sitompul

Hotma Sitompul

Jakarta, katasulsel.com — Kabar duka menyelimuti dunia hukum Indonesia. Dr. Hotma Parapatua Daniel Sitompul, S.H., M.Hum, atau yang akrab disapa Hotma Sitompul, mengembuskan napas terakhir di ruang ICU RSCM Kencana, Jakarta, Rabu (16/4), sekira Pukul 11.15 WIB.

Pengacara senior ini dikenal bukan hanya karena kepiawaiannya membela klien, tapi juga karena dedikasinya membela kaum miskin dan tertindas melalui LBH Mawar Saron yang ia dirikan.

Namun, di balik reputasi dan panggung besar itu, tersimpan kisah-kisah haru dari orang-orang terdekat—termasuk anak tirinya, musisi Bambang Reguna Bukit alias Bams, hingga tetangganya sendiri di kawasan Antasari, Jakarta Selatan.

Bams, vokalis band Samsons, adalah anak dari Desiree Tarigan, istri pertama Hotma. Meski hubungan keluarga mereka sempat dilanda konflik, Bams tak bisa menyembunyikan duka mendalamnya. Dalam diam, ia mengenang sosok yang pernah menjadi bagian penting dari masa mudanya.

Hotma bukan tipe ayah yang banyak bicara. Tapi lewat sikap dan tindakannya, ia memberi pelajaran hidup yang dalam.

Di ruang kerjanya yang tenang, Bams menyaksikan bagaimana kasus-kasus berat dihadapi dengan sabar dan hati-hati. Dari sanalah Bams belajar tentang keteguhan, integritas, dan keberpihakan pada yang lemah.

LBH Mawar Saron, yang didirikan pada 8 Juli 2002, menjadi bukti nyata bahwa bagi Hotma, hukum bukan sekadar profesi. Ia ingin hukum menjadi pelindung, bukan penindas.

Banyak pengacara muda tumbuh di bawah asuhannya—belajar tentang bagaimana membela tanpa pamrih, melayani tanpa melihat latar belakang.

“Hukum bukan hanya soal siapa yang salah, tapi siapa yang butuh dibela,” adalah kalimat yang masih terngiang di kepala banyak anak didiknya.

Bersambung…

Bams pernah menulis lagu yang tak pernah dirilis, terinspirasi oleh sosok Hotma. Lagu itu bercerita tentang rumah, tentang figur ayah yang pendiam tapi hadir, tentang cahaya lampu kerja yang menyala di malam hari.

Kini, lagu itu kembali terngiang—tapi hanya dalam kepala. Sebab panggung sudah tiada.

Bagi rekan-rekannya di dunia hukum, Hotma adalah pribadi penuh prinsip. Ia tak segan menolak kasus bernilai miliaran jika bertentangan dengan nurani.

Ia juga kerap menjadi lawan debat yang keras, namun adil dan elegan. Banyak yang mengaku, bertemu Hotma di ruang sidang adalah pengalaman yang menguji kapasitas dan moral.

“Kami sering berbeda pendapat. Tapi satu hal yang pasti, dia selalu tulus dalam berjuang,” ujar salah satu pengacara senior, di Makassar, Rabu, 16 April 2025.

Sejak pagi, rumah besarnya yang bercat putih itu ramai. Orang-orang datang. Beberapa petugas sibuk mengatur tamu. Tapi di antara keramaian itu, beberapa tetangga hanya berdiri di balik pagar. Mereka tidak berani masuk, tapi wajah mereka penuh kehilangan.

Pak Anton, 61 tahun, yang sudah puluhan tahun tinggal tak jauh dari kediaman Hotma, menyebut almarhum sebagai sosok bersahaja. “Kalau lewat, selalu senyum. Kadang cuma angguk. Tapi kami merasa dihargai,” katanya.

Seorang ibu rumah tangga, tetangga lainnya, mengenang saat keluarganya sakit dan mendapat bantuan tak terduga dari keluarga Hotma. “Katanya titipan dari Ayah. Saya nangis waktu itu,” ujarnya.

Warga sekitar rumah duka merasakan kehilangan yang dalam. Bukan karena mereka kenal sosok hukum besar itu lewat media, tapi karena mereka pernah disentuh oleh kebaikan kecil yang tak pernah diumbar.

Hari itu, langit Jakarta tampak muram. Jenazah Hotma disambut isak pelayat, dari yang berjas rapi hingga mereka yang hanya datang membawa doa. Semua hadir karena satu alasan: ia pernah berarti.

Dan seperti kata Bams dalam hati, mungkin dunia kehilangan satu pengacara, tapi banyak hati kehilangan cahaya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version