Oleh: Dr. apt. Maryono, S.Si., M.Si.
Akademisi – Ketua PROJO Sidrap
DALAM lanskap pelayanan kesehatan nasional, kemunculan Apotik Koperasi Desa Merah Putih bukan sekadar terobosan administratif, tetapi cerminan dari transformasi struktural dalam sistem distribusi farmasi yang berbasis pada prinsip community empowerment dan social equity. Gagasan ini pertama kali digulirkan oleh kementerian terkait kala itu sebagai bagian dari revitalisasi fungsi koperasi dalam menyediakan akses kesehatan dasar yang adil, terjangkau, dan berkelanjutan di tingkat desa.
Desain model integratif antara klinik dan apotik koperasi desa merupakan pendekatan one-stop health service, di mana pasien yang telah memperoleh resep dari dokter dapat langsung menebus obatnya tanpa harus berpindah lokasi. Konsep ini sangat tepat diterapkan di wilayah pedesaan yang secara geografis dan demografis sering menghadapi keterbatasan infrastruktur layanan kesehatan.
Di balik kemudahan tersebut, tersirat semangat pharmaceutical care yang menempatkan apoteker sebagai mitra strategis dalam proses terapi pasien, bukan sekadar sebagai dispenser obat. Kehadiran apotik koperasi desa menjadi bentuk nyata dari demokratisasi akses terhadap obat esensial dan obat generik yang harganya lebih rasional dan sesuai daya beli masyarakat kecil.
Dalam konteks ini, obat murah bukanlah komoditas, melainkan hak dasar (basic human right) yang harus dijamin oleh negara melalui instrumen kelembagaan rakyat, salah satunya koperasi. Koperasi desa merah putih bukan hanya badan usaha, tetapi institusi sosial yang memiliki ruh kolektivitas untuk menyejahterakan anggotanya, termasuk dalam menjamin kesehatan preventif dan kuratif.
Filosofi koperasi yang berakar pada prinsip “dari, oleh, dan untuk anggota” memberi legitimasi moral untuk menyubsidi atau mempermudah akses obat bagi anggota yang terverifikasi tidak mampu. Pendekatan ini juga mencerminkan semangat solidarity economy, di mana keuntungan bukan tujuan utama, melainkan alat untuk menciptakan social safety net dalam aspek kesehatan.
Namun, skenario ideal ini tentu tak luput dari tantangan implementatif. Setidaknya terdapat empat kendala utama yang mesti diantisipasi:
Keberadaan Apotik Koperasi Desa Merah Putih harus dilihat dalam kerangka besar reformasi sistem kesehatan nasional yang bersifat inklusif dan partisipatif. Dukungan dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Koperasi melalui Menteri Budi Arie Setiadi, menjadi tonggak penting dalam mendorong keterlibatan koperasi sebagai aktor utama dalam penyediaan obat murah.
Namun, ke depan, dibutuhkan regulasi yang mendorong pembinaan terpadu antara Dinas Kesehatan, Dinas Koperasi, dan Perguruan Tinggi Farmasi, agar kualitas layanan dan kontinuitas penyediaan obat tetap terjaga. Program pendampingan apoteker, pelatihan berkelanjutan, dan sistem audit mutu pelayanan farmasi harus dirancang sebagai bagian dari penguatan kelembagaan apotik koperasi desa.
Eksistensi Apotik Koperasi Desa Merah Putih adalah simbol dari health equity yang dibangun dari bawah. Bukan semata proyek sosial, tetapi manifestasi politik keberpihakan pada rakyat kecil. Jika dikelola dengan baik, apotik ini akan menjadi jangkar keseimbangan dalam sistem kesehatan yang kini cenderung berorientasi pasar.
Obat murah untuk rakyat bukan hanya mungkin, tetapi harus diwujudkan—sebagai wujud dari negara yang hadir di setiap denyut nadi kehidupan desa. (*)
Tidak ada komentar